Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat diimbau waspada dan bisa membedakan mana gejala nyeri dada biasa dengan nyeri yang disebabkan akibat sindroma koroner akut atau yang biasa dikenal dengan serangan jantung.

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia (Perki) dr Ade Meidian Ambari Sp.JP mengatakan di Jakarta, Senin, nyeri dada yang berkaitan dengan gejala serangan jantung biasanya terasa nyeri di bagian belakang tulang dada dan rasanya seperti ditusuk benda berat.

Kemudian rasa nyeri tersebut menjalar ke lengan kiri seperti kesemutan, bahu, punggung, ke leher atau di rahang bawah sehingga terasa seperti tercekik.

"Apa yang membedakan, biasanya itu berlaku lebih dari dua puluh menit. Nyeri dada khas jantung kita sebutnya angina pektoris," kata dia.

Ade menjelaskan sebelum datangnya nyeri dada karena penyempitan pembuluh darah di jantung biasanya didahului dengan gejala otonom. Beberapa gejalanya dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai penyakit biasa seperti mual, muntah, sakit di bagian ulu hati, keringat dingin, sehingga sering diabaikan.

"Tapi ada beberapa kelompok orang tua usia lebih dari 75 tahun atau pada wanita muda kadang-kadang tidak spesifik, gejalanya cuma sakit di ulu hati saja terus tiba-tiba serangan jantung," jelas dia.

Ade menyarankan apabila seseorang dengan usia di atas 40 tahun dan pernah menemukan gejala seperti disebutkan agar segera periksa kesehatan agar bisa menghindari terjadinya serangan jantung.

Beberapa faktor risiko dari penyakit jantung ini paling utama ialah paparan asap rokok. "Pasien penyakit jantung di RS Harapan Kita 67 persennya perokok," kata Ade.

Selain itu penyakit lain seperti hipertensi serta gangguan lemak kolesterol yang mengendap juga bisa menyebabkan penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah yang berakibat pada penyakit jantung.

"Kalau kolesterol tinggi mengendap di dalam dinding pembuluh darah, lama-lama menumpuk terjadi penyempitan. Itu proses yang berlangsung lama, bisa lebih dari 10 tahun," kata Ade.

Baca juga: Waktu terbaik penanganan serangan jantung di bawah tiga jam
Baca juga: Studi: tidur delapan jam lebih berisiko kena penyakit jantung

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019