...debat capres masih terlalu menekankan isu swasembada dan tidak membahas salah satu isu pokok mengenai pangan, terutama beras atau stabilitas harga.

Jakarta (ANTARA News) - Debat capres tahap dua yang berlangsung semalam dinilai para pengamat belum memberikan gambaran yang substansif dan strategis terkait pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup.

Para pengamat ekonomi menilai paparan dan pandangan yang disampaikan kedua kandidat belum memberikan gambaran yang jelas terhadap tantangan Indonesia yang akan dihadapi di masa datang. Selain itu, penjelasan kedua capres cenderung lebih bersifat reflektif.

Hal itu terkemuka pada diskusi “Menakar Komitmen Capres/Cawapres dalam Pengembangan Pangan, Energi dan Infrastruktur" yang diselenggarakan Center Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin, yang dihadiri Pakar Ekonomi Pertanian dari Universitas Lampung Prof Dr Bustanul Arifin, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Febby Tumiwa, Peneliti Senior LPEM-UI Dr Alin Halimatussadiah dan Peneliti CSIS Deni Friawan, dengan moderator Prof Dr Mari Elka Pangestu Pembina Yayasan CSIS yang juga mantan Menteri Perdagangan.

Pada rangkuman hasil diskusi yang diterima Antara, Bustanul Arifin menilai debat capres masih terlalu menekankan isu swasembada dan tidak membahas salah satu isu pokok mengenai pangan, terutama beras atau stabilitas harga.

“Isunya bukan lagi pada swasemba, karena ini hanya soal perut, tapi pada kebijakan pangan yang terkait dengan pembangunan manusia,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Bustanul, isu terpenting adalah bagaimana meningkatkan akses masyarakat, terutama kelompok miskin, terhadap kebutuhan pangan dan gizi.

Diakuinya ada kemajuan dalam pembangunan gizi masyarakat seperti prosentase balita stunting turun dari 32,9 persen pada 2013 menjadi 29,9 persen pada 2018. Namun itu tidak signifikan masih, dan terdapat sejumlah masalah yang cukup besar bila dikaitkan kualitas sumber daya manusia ke depan.

Di sisi lain, Bustanul juga mengungkapkan ada kemajuan yang signfikan dalam pengelolaan pangan antara lain kebijakan “satu” data produksi beras yang penting dalam menghitung kebutuhan impor.

Sementara itu, Fabby Tumewa menilai kedua capres dalam debat belum menyentuh hal yang subtansif terkait pembangunan energi terutama energi terbarukan. "Sebagian besar debat pada masalah impor BBM," katanya.

Padahal, lanjut dia, tantangan ke depan adalah bagaimana mengkaitkan isu energi dengan perubahan iklim atau pengurangan emisi CO2. Tidak terlihat adanya pembahasan, kata dia, bagaimana misalnya Indonesia bisa mencapai bauran energi sesuai dengan target. Misalnya pada 2027
sebagian besar yaitu 54,4 persen dari pembangkit listrik menggunakan batu bara, kemudian 23 persen energi terbarukan, dan 22,2 persen gas alam.

"Pertanyaan bagaimana bisa mencapai porsi pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2027, karena sampai saat ini investasi di sektor ini masih sangat rendah,” kata Fabby.

Lebih jauh Peneliti senior LPEM UI Dr Alin menyayangkan debat capres belum banyak menyinggung isu lingkungan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

"Saya tidak melihat pembangunan berkelanjutan disebut oleh kedua calon, isu sustainable development tidak menjadi hal menarik bagi kedua kandidat," katanya. Padahal, isu penggunaan biodiesel atau biofuel harus mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan, misalnya antara kebutuhan lahan untuk pangan dan kebutuhan untuk bahan baku biodiesel dan biofuel.

DI sektor infrastruktur, Deni Friawan, Peneliti CSIS mengatakan pertanyaan ke depan bukan lagi soal perlu atau tidak pembangunan infrasturtur tapi adalah infrastruktur dalam bentuk apa, dan di sektor mana pembangunan ini dilakukan, dan sumber pembiayaannya.

"Ke depan yang perlu diperkuat adalah bagaimana dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi bisa lebih dipercepat dan dirasakan dampaknya,” kata Deni.

Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019