"Kami sudah menghubungi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan beberapa lembaga konservasi lain," kata Direktur Utama Perumda TSTJ Bimo Wahyu Widodo Dasir Santoso di Solo, Sabtu.
Ia mengatakan dengan matinya gajah bernama Jati yang berumur 55 tahun tersebut, saat ini koleksi gajah di TSTJ tersisa dua ekor dengan jenis kelamin betina.
"Yang satu pasangan Jati bernama Dian dengan umur 50 tahun, satu lagi namanya Manohara anak mereka berumur 10 tahun," katanya.
Ia mengatakan, untuk mendatangkan gajah yang baru pihaknya akan menggunakan prosedur pertukaran satwa namun dengan tetap melalui izin dari BKSDA.
"Misalnya kami harus bertukar dengan (Kebun Binatang) Gembira Loka, nanti kami mengajukan izin ke BKSDA Jawa Tengah dan Gembira Loka juga mengajukan izin ke BKSDA DIY," katanya.
Selanjutnya, dikatakannya, masing-masing BKSDA akan mengirimkan surat ke Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ia mengatakan jika kementerian menyetujui maka pertukaran baru dapat dilakukan.
"Kalau kami bisa mendatangkan pejantan dari luar, dia bisa dipasangkan dengan Dian maupun Monahara. Kalau Jati malah tidak bisa dipasangkan dengan anaknya," katanya.
Jati didatangkan ke TSTJ dari Way Kambas Lampung pada bulan Juni 1984 di usia 20 tahun. Jati merupakan hasil tangkapan dari alam liar.
Baca juga: Gajah liar rusak tanaman perkebunan di Aceh Utara
Baca juga: Tujuh gajah liar dihalau kembali ke hutan
Pewarta: Aries Wasita Widi Astuti
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019