Kupang (ANTARA News) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 23 September 2018 telah mendeklarasikan kampanye damai Pemilu serentak 2019 di kawasan Monas, Jakarta.
Deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019 itu, dimeriahkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pembukaan ini ditandai dengan pelepasan balon ke udara yang dilakukan Ketua KPU Arief Budiman.
Namun, sejak deklarasi kampanye Pemilu serentak 2019 dilakukan, belum ada calon anggota legislatif atau partai politik yang menggelar kampanye akbar, yang melibatkan massa dalam jumlah besar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Hanya ada baliho ataupun spanduk calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden yang terpasang di sudut-sudut kota sampai ke perdesaan.
Rupanya tim pemenangan maupun para calon legislatif lebih cenderung memilih melakukan kampanye terbatas, ketimbang kampanye rapat umum dengan memobilisasi massa.
Calon anggota DPR RI dari daerah pemilihan NTT II yang meliputi Pulau Timor, Sumba, Sabu dan Rote, Melkianis Laka Lena mengatakan, kampanye akbar baru dimulai pada akhir Maret hingga April 2019.
Namun, menurut dia, kebanyakan caleg lebih memilih melakukan kampanye dialogis ketimbang kampanye akbar.
"Kampanye tatap muka dengan jumlah terbatas, lebih tepat dialogis dan lebih mengena buat caleg dan pemilih," kata Ketua DPD Golkar NTT itu.
Pandangan hampir senada disampaikan calon anggota DPR RI dari Dapil I yang meliputi Lembata, Alor dan Pulau Flores, Honing Sani.
Menurut dia, pilihan untuk melakukan kampanye dari pintu ke pintu memang lebih efektif ketimbang kampanye rapat umum dengan memobilisasi massa dalam jumlah besar.
"Tetapi sesungguhnya, model kampanye seperti yang dilakukan ini merupakan pilihan masing-masing caleg," katanya.
Soal lebih efektif dan murah menurut dia, relatif karena dalam kampanye terbatas tetap ada biaya dan belum tentu orang memilih.
"Jadi apapun pilihan atau bentuk kampanyenya, relatif. Relatif dalam artinya belum tentu hemat dan belum tentu mendapat simpati dan dukungan pada Pemilu mendatang," kata caleg dari Partai Golkar ini.
Antropolog Budaya Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD menilai masyarakat dewasa ini tidak terlalu suka dengan kampanye calon anggota legislatif yang lebih bernuansa bergemerlapan.
"Yang saya amati, saat ini adalah warga tidak berminat pada pentas kampanye yang bernuansa gemerlapan. Jika hal itu sampai terjadi maka belum tentu menjadi jaminan bahwa calon legislator yang kampanye besar-besaran di mana-mana akan dipilih," katanya.
Menurut rohaniawan Katolik itu, penampilan politik para calon legislator kini berbeda jauh jika dibandingkan dengan penampilan politik pada era 1990-an.
Pada saat itu, kata Gregor, legislator beramai-ramai menggelar kampanye dengan cara yang gemerlapan, konser band dan membawa serta artis-artis dari ibu kota.
Ia mengatakan, jika sebelumnya ada iklan dan baliho berjalan seiring dengan kampanye publik dengan memusatkan massa pada lokasi tertentu.
"Tetapi kali ini, iklan dan baliho tampak sepi, mungkin juga karena musim hujan dan iklim yang tidak menentu, atau juga cara menghemat biaya untuk tidak mengumpulkan massa, melainkan berkampanye dari rumah ke rumah," ujar dia.
Selain itu juga media sosial deperti "Facebook", WhatsAp, iklan di koran mempunyai peranan yang sangat penting bagi kampaye politik para legislator.
"Kekuatan medsos hemat saya masih ada, namun jika tidak ditunjang dengan pendekatan hati dari rumah ke rumah (door to door), maka hasilnya akan menuai kegagalan," katanya.
Pater Gregor menambahkan bahwa kali ini ada satu gerilya politik yang menjadi manuver utama calon legislator, yakni berkunjung secara diam-diam ke tengah warga masyarakat, dan beramal dari rumah ke rumah.
Tujuannya adalah agar para calon legislator bisa mengetahui persis (dan pasti) siapa yang bakal memilihnya.
Sementara itu iklan dan baliho dalam arti tertentu adalah strategi kampanye yang paling menguntungkan, paling bagus dan strategis.
Menguntungkan karena biayanya hanya sebatas harga baliho, kemudian tentang dampaknya, baliho memang dilihat banyak orang dalam waktu apa saja.
Kemudian juga paling bagus karena jika dipasang persis di sudut jalan ramai maka banyak orang seakan menghadiri saat kampanye orang yang wajahnya terpasang pada baliho tersebut.
"Strategis karena iklan dan baliho yang sungguh-sungguh ditempatkan pada jalan utama, memang mendapat perhatian dari sedemikian banyak orang yang melewati jalur jalan tersebut," demikian Pater Gregorius Neonbasu SVD.
Sementara Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang, MSi menilai, pilihan calon legislatif untuk menggunakan pola kampanye terbatas lebih efektif ketimbang rapat umum dengan memobilisasi massa dalam jumlah besar.
"Setiap caleg punya pilihan untuk melakukan kampanye. Di tengah politik ekonomi biaya tinggi seperti sekarang, maka para caleg cenderung memilih pola kampanye yang tidak membutuhkan biaya besar, namun efektif dalam menggalang dukungan," kata Ahmad Atang.
Menurut Ahmad Atang, pola kampanye terbatas dengan memperkuat jaringan politik kekerabatan dan kekeluargaan, kampanye dari pintu ke pintu dipandang oleh para caleg lebih efektif dibandingkan dengan rapat umum dengan memobilisasi massa dalam jumlah besar.
Disamping tidak efektif dalam membangun dukungan, massa yang hadir dalam kampanye, umumnya masih mengambang atau belum menentukan pilihan politik.
"Kampanye rapat umum tidak menjadi pilihan para caleg, karena membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar, dan massa yang hadir umumnya masih mengambang," katanya.
Kondisi ini juga dipengaruhi oleh model demokrasi kita yang bergeser dari demokrasi institusi ke demokrasi individu, katanya.
Karena itu, pemilu merupakan kontestasi individu, maka yang bergerak untuk menggalang dukungan adalah individu sebagai caleg, katanya.
Dengan demikian, mobilisasi massa yang berbasis individu selalu tidak menguntungkan bagi para caleg.
Dia menambahkan, dalam kampanye terbatas, disamping para caleg lebih mudah melakukan interaksi dan komunikasi politik dengan konstituen, relasi antara caleg dengan massa lebih mudah terjalin sehingga pertanggung jawaban politik selalu terjaga.
Sungguhpun demikian, pilihan calon legislatif ini secara faktual telah meniadakan hak publik dalam memperoleh pendidikan politik.
Padahal, publik perlu diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan nasib bangsa dan negara melalui wakil-wakilnya yang dipercaya di lembaga legislatif, kata Ahmad Atang.
Menurut Ahmad Atang, pola kampanye terbatas ini menyebabkan ruang demokrasi publik menjadi sepi. Tidak ada pendidikan politik massal yang dilakukan politisi maupun partai politik.
Selain, tidak terbangun greget demokrasi yang bernuansa pesta pora yang sudah terbangun dalam setiap pesta demokrasi lima tahunan di negeri ini, katanya.
"Di sini karakter politik lima tahunan mengalami stagnasi," kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.
Artinya, pilihan caleg melakukan pola kampanye seperti tersebut di atas secara faktual telah meniadakan hak publik untuk mendapatkan pendidikan politik.
Publik perlu diberi ruang untuk ikut berpartisipasi menentukan nasib bangsa dan negara melalui wakil-wakilnya yang dipercaya.
Oleh karena itu, wakil rakyat yang akan dipilih tidak harus membatasi diri di ruang terbatas.
Rakyat mesti diberikan ruang, karena mereka adalah pemegang kedaulatan sebagai vote atau pemilih.
Rakyat harus dilibatkan karena itu merupakan hak politik, sehingga mereka perlu gembira menyongsong pemimpin mereka bukan dikebiri sesuai kemauan elite.*
Baca juga: Novel serukan anggota FPI mundur dari caleg PBB
Baca juga: PP Pemuda Muhammadiyah serukan pengikutnya tidak golput
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019