Kupang (ANTARA News) - Kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang terletak di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam beberapa bulan terakhir ini terus menjadi perbincangan publik.
Perbincangan mengenai TNK ini, dimulai November 2018, sejak Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mewacanakan untuk ambil bagian dalam pengelolaan TNK yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat dengab rencana menaikkan tarif masuk TNK bagi wisatawan mancanegara hingga 500 dolar dan 100 dolar untuk wisatawan domestik, hingga rencana penutupan kawasan itu.
Para petinggi di negeri ini pun mulai angkat bicara, setelah Gubernur NTT mengeluarkan pernyataan soal rencana penutupan kawasan Taman Nasional Komodo selama satu tahun untuk kepentingan konservasi. Tak hanya pelaku wisata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Pariwisata yang angkat bicara, tetapi juga Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Jangan lupa, dikunjungi dan tidak dikunjungi (rusa) perlu makan. Jadi, memang bisa saja, ini benar perlu makan rusa, kambing itu. Pertanyaannya, apa perlu dikembangbiakkan di situ atau dibawa ke tempat lain dulu baru ke situ?" ujar Wapres Jusuf Kalla.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengungkapkan rencananya menutup sementara TNK meningkatkan jumlah populasi rusa yang menjadi makanan utama komodo. Postur komodo yang kian mengecil juga menjadi alasan Laiskodat merencanakan penutupan itu.
Selain itu, pemerintahannya akan menata Taman Nasional tersebut supaya habitat komodo menjadi lebih berkembang. "Tapi pandangan ibu Menteri Lingkungan Hidup, secara pribadi beliau sangat setuju karena kita ingin agar ada revitalisasi Pulau Komodo," kata Laiskodat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sebagai pihak yang memegang otoritas pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo saat ini sedang mempelajari wacana yang sedang dimainkan oleh Gubernur NTT Viktor Laiskodat itu.
Wajar jika destinasi wisata itu menjadi bahan perbincangan petinggi negeri ini karena Kawasan Taman Nasional Komodo yang dihuni biawak raksasa komodo itu, ibarat magnet yang selalu menarik wisatawan berkunjung ke kawasan itu.
Kawasan TNK merupakan salah satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia, dengan luas 173.300 hektare yang terdiri dari 132.572 ha kawasan perairan dan 40.728 ha kawasan daratan.
Tahun 1977, TNK ditetapkan UNESCO sebagai kawasan Cagar Biosfer (Man and Biosphere Programme - UNESCO), sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Center - UNESCO) pada 1991.
TNK juga sebagai New 7 Wonders of Nature oleh New 7 Wonders Foundation pada tahun 2012.
Tahun 2008 area TN Komodo juga ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional, dan pada 2011 ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.
Selain komodo sebagai salah satu daya tarik pengunjung yang sebagian besar merupakan wisatawan mancanegara, saat ini terdapat 42 dive and snorkeling spot yang juga menjadi daya tarik kunjungan.
Tren jumlah pengunjung ke kawasan wisata itu pun terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama sejak kawasan itu ditetapkan sebagai New 7 Wonders of Natura pada tahun 2012.
Pada 2014, jumlah kunjungan wisatawan tercatat 80.626 ribu, tahun 2015 menjadi 95.410, tahun 2016 naik menjadi 107.711, tahun 2017 naik lagi menjadi 125.069 dan tahun 2018 tercatat 159.217.
Dengan tiket masuk wisatawan mancanegara sebesar Rp150.000, dan wisatawan nusantara hanya Rp5.000, berdasarkan PP. 12 tahun 2014 tentang Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Data Kementerian KLHK menunjukkan, penerimaan pungutan yang disetor oleh Balai TN Komodo kepada kas negara terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2014 Balai Taman Nasional Komodo menyetor pungutan untuk kas negara sebesar Rp5,4 miliar, tahun 2015 melonjak Rp19,20 miliar, tahun 2016 naik Rp22,80 miliar, tahun 2017 sebesar Rp29,10 miliar, dan tahun 2018 mencapai Rp33,16 miliar.
Kepala Biro Humas Kementerian LHK, Djati Witjaksono Hadi mengatakan, meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke TN Komodo telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang signifikan, khususnya di Kabupaten Manggarai Barat dan wilayah di sekitarnya.
Rantai ekonomi berdampak pada penghidupan masyarakat pelaku wisata antara lain tour operator yang mengoperasikan 157 kapal wisata, keterlibatan 94 guide dari masyarakat lokal, tingkat hunian 1.136 kamar hotel, lahirnya empat hotel berbintang.
Rantai ekonomi tersebut berpengaruh pada penghidupan 4.556 jiwa masyarakat yang tersebar di Desa Komodo (1.725 jiwa), Desa Papagaran (1.252 jiwa), dan Desa Pasir Panjang (1.579 jiwa).
Khusus masyarakat dari Desa Komodo, kata dia, sebagian besar terlibat dalam kegiatan wisata.
Pertimbangan ilmiah
Menurut dia, penutupan suatu taman nasional dimungkinkan dengan pertimbangan ilmiah atau atas kondisi khusus, misalnya terjadi erupsi gunung berapi, kondisi cuaca ekstrim sehingga pendakian ditutup sementara seperti di TN Gunung Rinjani, TN Gunung Merapi, TN Bromo Tengger Semeru.
Selain adanya kerusakan habitat atau gangguan terhadap satwa liar yang dilindungi akibat dari aktivitas pengunjung, bencana alam, dan mewabahnya hama dan penyakit seperti di TN Way Kambas.
Penutupan kawasan taman nasional menjadi kewenangan Direktorat Jenderal KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, katanya.
Dia menambahkan, berdasarkan monitoring Balai TN Komodo dan Komodo Survival Programme, pada tahun 2017, jumlah populasi komodo sebanyak 2.762 individu, yang tersebar di Pulau Rinca (1.410), Pulau Komodo (1.226), Pulau Padar (2), Pulau Gili Motang (54), Pulau Nusa Kode (70).
Sedangkan populasi rusa adalah sebanyak 3.900 individu, dan kerbau sebanyak 200 individu.
Pada tahun 2018, ditemukan satu individu komodo mati secara alamiah karena usia.
Ancaman terhadap komodo adalah masih ditemukannya perburuan rusa, yang pada umumnya dilakukan oleh oknum masyarakat Kabupaten Bima.
Kejadian perburuan rusa pada tahun 2018 telah ditangani secara hukum oleh pihak Polres Bima.
Program breeding rusa telah dibangun di Kecamatan Sape Kabupaten Bima, dalam rangka untuk mengurangi tingkat perburuan rusa di TN Komodo.*
Baca juga: Pertumbuhan ekonomi daerah NTT signifikan dengan kehadiran TN Komodo
Baca juga: Penutupan taman nasional dimungkinkan atas pertimbangan ilmiah
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019