Surabaya (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Jawa Timur membuka posko pengaduan pinjaman dalam jaringan atau yang dikenal dengan istilah "Fintech" menyusul banyak laporan keluhan masyarakat terkait dengan model pinjaman ini.
Direktur LBH Surabaya Abdul Wachid Habibullah, di Surabaya, Jumat, mengatakan sampai saat ini, sudah ada sembilan laporan keluhan yang masuk ke LBH Surabaya dengan jumlah korban sebanyak 59 orang.
"Banyak keluhan dan permasalahan yang masuk, di antaranya adalah besaran bunga dan biaya administrasi dilakukan secara sepihak dan jumlahnya sangat tinggi. Selain itu, nasabah juga dibebankan biaya penagihan manakala nasabah tidak membayar tepat waktu," katanya pula.
Ia mengemukakan, pada pinjaman dalam jaringan ini tidak ada ruang komunikasi antara nasabah dengan penyedia pinjaman sehingga membuat nasabah kesulitan untuk melakukan upaya negosiasi atau untuk mengklarifikasi besaran utang yang harus dibayarkan.
"Selanjutnya, proses penagihan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman dilakukan dengan cara intimidatif dan menyebarkan data pribadi nasabah kepada publik," katanya pula.
Dia juga melihat, banyak aplikasi pinjaman dalam jaringan ilegal yang tidak terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain ilegal, aplikasi pinjaman dalam jaringan ini berdasarkan temuan OJK ternyata banyak yang berasal dari luar negeri.
"Saat ini yang paling menjadi keluhan dan meresahkan nasabah adalah cara penagihan yang dilakukan oleh pihak pemberi pinjaman dalam jaringan," ujarnya lagi.
Menurutnya, negara juga sampai saat ini cenderung pasif dan mengembalikan permasalahan ini kepada masyarakat dengan dalih urusan privat atau keperdataan antara nasabah dengan produsen dalam hal ini pihak pemberi pinjaman dalam jaringan.
"Padahal perlindungan data pribadi merupakan bagian dari hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas perlindungan privasi warga negara sebagaimana diatur dalam pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan turunannya, sehingga negara berkewajiban untuk melindungi hak asasi warganya," katanya.
Menyikapi permasalahan ini, kata dia, pemerintah dan DPR RI harus segera merampungkan dan mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi. Kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memberikan sanksi kepada aplikasi pinjaman dalam jaringan yang sudah terdaftar di OJK yang melakukan penagihan dengan cara intimidatif dan menyebar data pribadi nasabahnya.
"Meminta OJK untuk memperkuat kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam rangka mengawasi aplikasi pinjaman dalam jaringan Ilegal serta meminta kepolisian untuk mengusut secara serius setiap ada laporan dari nasabah korban pinjaman dalam jaringan," katanya pula.
Baca juga: OJK berkomitmen awasi perusahaan pinjaman daring
Pewarta: Indra Setiawan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019