Oleh Berlian Helmy *)

Setelah 45 tahun menjadi anggota, Inggris akhirnya menemui kegalauan untuk hengkang dari Uni Eropa melalui sebuah referendum yang dilaksanakan pada 23 Juni 2016.

Pemerintah Inggris memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk menentukan apakah negara mereka akan tetap berada dalam keanggotaan Uni Eropa atau keluar dari organisasi regional tersebut.

Hasil referendum menyatakan bahwa 52 persen rakyat Inggris, terutama di London dan Wales, menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa dan 48 persen memberikan suara untuk tetap menjadi anggota.

Walaupun referendum sudah dilaksanakan dan hasilnya sangat jelas, dibutuhkan waktu dua tahun bagi Inggris untuk benar-benar keluar dari Uni Eropa. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa secara resmi pada 29 Maret 2019, dan masih terhitung sebagai anggota Uni Eropa hingga tanggal tersebut.

Negosiasi dan diskusi mengenai withdrawal agreement antara Inggris-yang diwakilkan oleh Perdana Menteri Theresa May-dan Uni Eropa masih berlanjut sampai hari ini.

Begitu pula di dalam internal Parlemen Inggris, keputusan yang tepat mengenai Brexit masih diperdebatkan pasca kekalahan telak PM May yang membuat masa depan Brexit menjadi semakin tidak pasti, apakah Inggris tidak jadi keluar dari Uni Eropa, dilakukannya pemilihan umum, referendum ulang, atau bahkan no-deal Brexit.

Hengkang dari Uni Eropa mengindikasikan bahwa Inggris siap mengambil risiko kehilangan pasar utamanya yakni dengan ikut keluar dari Pasar Tunggal Eropa.

Pasar Tunggal Eropa merupakan tujuan ekspor terbesar Inggris dan untuk mengisi kehilangan tersebut, Inggris menetapkan akan meningkatkan aktivitas perdagangan globalnya, termasuk dengan negara-negara Uni Eropa, dengan meluncurkan sebuah kebijakan luar negeri yang dinamakan Global Britain-strategi bisnis Inggris untuk Brexit-sekaligus meningkatkan perannya di dunia internasional pasca Brexit.

Di tengah-tengah ketidakpastian Brexit di dalam Parlemen Inggris maupun Uni Eropa, Indonesia melihat Brexit sebagai sebuah kesempatan untuk mempererat hubungan bilateral dengan Inggris.

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Inggris yang pada tahun 2019 ini akan memasuki tahun ke-70 dilandaskan oleh kesamaan perspektif dalam menjunjung tinggi nilai masing-masing negara.

Keduanya memiliki pandangan yang sama mengenai pentingnya memelihara dan mengembangkan nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia.

Dengan adanya Brexit saat ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan aktivitas kerja sama dalam bidang perdagangan.

Melalui Indonesian Briefing Forum, Duta Besar Indonesia untuk Inggris Rizal Sukma menyatakan bahwa Indonesia berpeluang meningkatkan perdagangan bilateralnya dengan Inggris yang sebelumnya mencapai 2,5 miliar dolar AS menjadi sekitar 5 miliar hingga 7 miliar dolar per tahun.

Indonesia diketahui sebagai salah satu dari 17 pasar perdagangan dan investasi Inggris dan merupakan satu-satunya anggota G-20 dari kawasan Asia Tenggara yang diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan akan masuk ke dalam sepuluh besar ekonomi dunia.

Menjadi salah satu negara tujuan Global Britain, Indonesia berpeluang meningkatkan kerjasama ekonomi dengan Inggris dalam bidang keuangan, financial technology (fintech), infrastruktur, ekonomi digital serta energi terbarukan yang diharapkan dapat memajukan perekonomian Indonesia.

Namun, apabila Inggris membatalkan penarikan dirinya dari Uni Eropa, kebijakan luar negeri Global Britain kemungkinan besar tidak akan dijalankan, karena Inggris akan kembali ke Pasar Tunggal Eropa. Perhatian Inggris sementara waktu akan terfokus pada Pasar Tunggal Eropa yang hampir saja mereka tinggalkan.

Indonesia sebagai salah satu mitra dagang Inggris masih memiliki kesempatan untuk menguatkan kerja sama dengan Inggris, mengingat Indonesia dan Inggris sudah menjalankan hubungan diplomatik selama 70 tahun, namun tidak bisa sesignifikan apabila kebijakanGlobal Britain dijalankan.

Namun, di luar bidang ekonomi, Indonesia dan Inggris memiliki peluang untuk terlibat dalam pembahasan isu-isu global. Hal tersebut karena saat ini Indonesia menduduki kursi Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB hingga dua tahun ke depan, sementara Inggris sendiri merupakan salah satu dari lima negara anggota Dewan Keamanan PBB. Interaksi di antara keduanya dapat membuka pintu kerja sama antara Indonesia dan Inggris di berbagai area.

Sumbangan Inggris

Walaupun terlepas dari kewajiban menggunakan mata uang Euro berdasarkan Perjanjian Maastricht tahun 1992, biaya keanggotaan tetap dibebankan kepada Inggris sebagai bagian dari Uni Eropa.

Sumbangan negara anggota merupakan sumber utama anggaran Uni Eropa, dan sebagai salah satu ekonomi terbesar, tidak mengherankan jika Inggris adalah salah satu negara yang diminta membayar paling banyak dan menjadikan negara tersebut kontributor ketiga terbesar setelah Jerman dan Prancis.

Inggris juga menerima subsidi regional dari Uni Eropa yang menyediakan dana untuk berbagai program, seperti dalam bidang agrikultur, sosial, dan ekonomi. Selain pendanaan, Inggris menerima potongan harga (rebate) dari Uni Eropa atas kontribusinya.

Inggris adalah salah satu dari sepuluh negara yang memberikan uang lebih banyak ke Uni Eropa daripada jumlah yang mereka dapatkan kembali.

Tanpa rebate, Inggris akan menjadi kontributor terbesar kedua setelah Jerman dengan total kontribusi sebesar 18,6 miliar poundsterling yang sama jumlahnya sama dengan total kontribusi 27 negara anggota Uni Eropa (tanpa Jerman).

Biaya keanggotaan tetap diwajibkan kepada Inggris pasca referendum hingga secara resmi keluar dari Uni Eropa yang diperkirakan pada 29 Maret 2019. Namun, sebagai alternatif proses dapat diperpanjang jika seluruh 27 anggota Uni Eropa setuju.

Mahkamah Eropa juga telah memutuskan bahwa Inggris dapat membatalkan secara sepihak penarikan diri dari Uni Eropa tanpa persetujuan negara anggota lainnya dan kembali bergabung.

Melalui kontribusi tahunannya, Inggris memberikan dana hampir setara 250 juta poundsterling per minggu ke Uni Eropa (setelah rebate).

Jika Inggris keluar secara resmi dari keanggotaan Uni Eropa pada 29 Maret 2019 mendatang, mereka tidak diwajibkan lagi untuk membayar kontribusi anggaran tahunan yang dimana hal tersebut tentu akan berdampak pada penurunan anggaran Uni Eropa secara signifikan, mengingat bahwa Inggris merupakan kontributor terbesar ketiga.

Akan adanya kekosongan spot pada posisi pendanaan yang biasanya diisi oleh Inggris. Efek domino dari penurunan anggaran tahunan membuat Uni Eropa harus mengelola kembali pendanaan program-program yang tengah mereka jalankan dan canangkan ke depan.

Tidak hanya keluar dari Uni Eropa, Inggris melalui pernyataan Perdana Menteri Theresa May juga akan keluar dari Pasar Tunggal Eropa. PM May menyatakan bahwa Inggris tidak mungkin tetap berada di dalam Pasar Tunggal Eropa, karena tetap berada di dalamnya berarti tidak meninggalkan Uni Eropa sama sekali.

Aturan mengenai perdagangan pasca Brexit akan ditentukan pada jenis kesepakatan, jika ada, yang dicapai antara Inggris dan Uni Eropa.

Perdagangan jasa akan menjadi sangat krusial, karena sekitar 80 persen pendapatan Inggris berasal dari penyediaan layanan. Walaupun keluar dari Uni Eropa, Inggris akan tetap melakukan kegiatan perdagangan dengan negara-negara Uni Eropa.

Pemerintah Inggris ingin menegosiasikan perjanjian perdagangan baru untuk membuat kegiatan lebih mudah. Jika tidak ada kesepakatan perdagangan baru yang dihasilkan, maka kegiatan perdagangan akan berdasarkan pada aturan World Trade Organization.

*) Penulis adalah Direktur Ideologi dan Politik, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI

Baca juga: Para menteri Inggris diam-diam bahas penundaan Brexit
Baca juga: Ratu Elizabeth II akan dievakuasi bila terjadi kerusuhan Brexit

Pewarta: Arief Mujayatno
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019