Washington (ANTARA News) - Sejak 2005, satu dokumen Departemen Kehakiman AS telah mensahkan dan membenarkan penggunakan teknik kekerasan dan yang mengakibatkan trauma dalam interogasi tersangka pelaku teror, demikian laporan The New York Times, Kamis. Dengan mengutip pernyataan beberapa pejabat masa lalu dan sekarang yang tak disebutkan jati dirinya, surat kabar itu melaporkan dokumen sah Departemen tersebut dibagikan pada 2005, ketika Kongres mensahkan peraturan yang "melarang perlakuan kejam tak manusia dan menghina orang". "Pendapat baru tersebut," kata pejabat itu, sebagaimana dikutip The New York Times, "untuk pertama kali memberi wewenang terang-terangan untuk memperlakukan tersangka pelaku teror dengan gabungan taktik yang menyakitkan secara psikologis dan fisik, termasuk pemukulan kepala, pura-pura menenggelamkan dan temperatur dingin". Wanita juru bicara Gedung Putih Dana Perino tak membantah keberadaan dokumen tersebut, tapi juga tak memberi perincian. Namun, Penasehat Keamanan Dalam Negeri di Gedung Putih Fran Townsend belakangan mengatakan program itu melibatkan satu tim yang kurang dari 100 interogator yang sangat terlatih. "Kami memulai dengan tindakan yang tak terlalu keras lebih dulu," kata Townsend kepada jaringan televisi CNN. "(Taktik) itu berhenti ... jika seseorang bekerja sama." Ia mengatakan Gedung Putih "merasa bingung" dengan pendapat bahwa kalau pemerintah AS tak menggunakan taktik interogasi keras, maka Al-Qaeda akan memperlakukan warga negara Amerika yang ditangkap dengan lebih baik. Ia menyatakan pula teknik interogasi keras telah mendapat dukungan dan pengertian dari masyarakat Amerika. "Jika warga negara Amerika dibunuh karena kami gagal melakukan tindakan keras, rakyat Amerika akan memiliki hak pasti untuk bertanya kepada kami kenapa," kata Townsend. Dalam suatu pernyataan Kamis, Pusat bagi Hak Undang-Undang Dasar (CCR), yang mengkoodinasikan pembelaan bagi banyak tahanan di pangkalan Angkatan Laut AS di Guantanamo, mendesak calon jaksa agung Michael Mukasey agar memiliki komitmen guna mengakhiri kebijakan tersebut. "Penyiksaan tidak sah, tak bermoral, dan itu tak berhasil. Kebijakan penyiksaan tahanan yang menghasilkan pengakuan intelijen tidak benar dan dibesar-besarkan gara-gara orang yang tak bersalah dikurung," kata CCR dikutip AFP.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007