Mataram (ANTARA News) - Pascagempa dengan magnitudo 7,0 pada 5 Agustus 2018 yang memprokporandakan wilayah Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, muncul isu akan terjadi gempa dahsyat disertai tsunami yang tersebar melalui media sosial.
Narasi yang beredar saat itu di sebuah akun twitter menyebutkan ada ilmuwan dan ahli klimatologi dan vulkanologi dari India yang memperhatikan dasar laut Mandalika, Lombok Tengah.
Menurut akun tersebut, tanah di dasar laut Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah telah terbelah cukup besar hingga ribuan meter ke arah Pulau Jawa dan akan menimbulkan gempa bumi dengan kekuatan 8,0 SR yang dapat menyebabkan mega tsunami.
Isu itu menimbulkan keresahan bagi masyarakat di Pulau Lombok, yang saat itu sedang dilanda trauma akibat gempa sebelumnya yang mengakibatkan ribuah rumah hancur dan rata dengan tanah serta ratusan korban meninggal dunia.
Isu yang diserbarkan melalui media sosial itu mengakibatkan sebagian warga terpaksa mengungsi ke lokasi yang lebih tinggi. Bahkan tidak sedikit warga Kota Mataram yang mengungsi ke Kabupaten Lombok Tengah.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menegaskan bahwa informasi yang tersebar di media sosial itu hoaks atau kabar bohong.
Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat kemudian menelusuri penyebar isu hoaks yang meresahkan tentang adanya gempa susulan yang lebih dahsyat akan terjadi pada Minggu (26/8).
Penyebarnya tersebut tertangkap, maka akan ada sanksi yang cukup berat. Pelaku dapat diancam dengan Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman enam tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Hingga Kini cukup banyak pelaku penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian yang terseret ke ranah hukum dan di era digital ini terpaksa mendekam dalam penjara, karena menyebarkan berita bohong atau ujaran kebencian (hate speech).
Sejatinya penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian menimbulkan dampak mengerikan, seperti perpecahan dalam masyarakat, mengganggu persatuan dan kesatuan serta keutuhan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Karena itu ungkapan yang menyatakan "jarimu harimaumu" sebagai sebuah peringatan kepada seluruh elemen masyarakat agar berhati-hati dan bijaksana dalam bermedia sosial agaknya patut mendapat diperhatikan agar tidak terseret ke ranah hukum dan terpaksa mendekam di balik jeruji besi.
Hingga kini cukup banyak pelaku penyebar hoaks dan ujaran kebencian yang menjadi penghuni ruang jeruji besi dan tak sedikit yang menimbulkan konflik serta keresahan di tengah masyarakat. Karena itu hentikan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, menyebarkan isu bernuansa SARA.
Karena peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 yang berlangsung di Surabaya, Jawa Timur hendaknya dijadikan momentum untuk mendorong peran pers dalam memerangi hoaks dan ujaran kebencian.
Dampak buruk
Pemerintah, masyarakat dan pers bahu-membahu melawan penyebaran informasi hoaks, ujaran kebencian, karena menimbukan dampak buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi dalam menghadapi tahun politik 2019, pemilihan pasangan Presiden-Wakil Presiden serta anggota legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah pada 17 April 2019.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara meminta masyarakat melawan hoaks dengan menyebarkan informasi dan berita-berita positif.
Ia mengatakan kalau hoaks viral, maka balas dengan memviralkan berita-berita positif, khususnya tentang validasi terhadap berita hoaks yang disebarkan. Ini terutama bisa dilaksanakan oleh media massa arus utama atau media mainstream.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk menyediakan layanan validasi pemberitaan atau informasi, salah satunya melalui website stophoax.id.
Pemerintah juga bekerja sama dengan platform media sosial seperti WhatsApp yang membatasi forward pesan hanya lima kali.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch, Agus Sudibyo mengemukakan tiga pendekatan untuk mengatasi hoaks, yakni struktural, jurnalistik dan kultural.
Ia menjelaskan pendekatan struktural dilakukan melalui penerapan regulasi atau undang-undang. Pendekatan jurnalistik dijalankan oleh wartawan dan pengelola media dengan tidak ikut menyebarkan informasi yang tidak benar. Pendekatan kultural diterapkan lewat upaya peningkatan literasi berbasis komunitas dan saling mengingatkan untuk tidak menyebarkan berita bohong.
Gubernur Nusa Tenggara Barat H Zulkieflimansyah mengatakan penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian yang kian marak akhir-akhir ini perlu dilawan secara bersama-sama baik pemerintah masyarakat dan pers agar tidak berdampak negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, menurut Zulkieflimansyah, hoaks adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari di zaman modern dan era digital sekarang ini. Karena berita bohong itu sendiri seperti sudah menjadi bagian gaya hidup masyarakat saat ini.
Ia mengatakan hoaks akan tetap begini saat ini, tetapi perlu diketahui semua itu pasti ada masanya. Tinggal sekarang bagaimana kesadaran masyarakat dalam menangkap informasi hoaks tersebut.
Meski demikian, Doktor Zul (sapaan Zulkiflimansyah) mengucapkan terima kasih atas sumbangsih media selama ini dalam hal menyampaikan informasi positif kepada masyarakat, termasuk program-program pemerintah sehingga diketahui masyarakat secara luas.
Tentu pemerintah daerah juga harus berterimakasih banyak kepada media. Karena selama ini relasi bersama rekan-rekan media begitu luar biasa, sehingga program-program pemerintah bisa tersampaikan secara luas ke masyarakat.
Sementara itu Presiden Joko Widodo menyampaikan terima kasih kepada insan pers nasional yang bisa menjadi media arus utama dalam memberitahukan informasi tepat kepada para pembacanya, di tengah maraknya informasi yang berseliweran di media sosial online.
Presiden Jokowi mengatakan saat ini yang vital di media sosial bisa jadi rujukan bagi masyarakat luas. Tak jarang juga itu jadi rujukan media konvensional atau media nasional arus utama.
Kepala negara turut mengingatkan kepada wartawan atau para pelaku pers agar tak terseret pemberitaan hoaks yang kerap dibunyikan di media sosial.
Di tengah suasana seperti ini, media arus utama dibutuhkan untuk rumah penjernih informasi. Keberadaan mereka dibutuhkan sebagai media communication of hoax.
Baca juga: Pers dan jebakan hoaks untuk milenial
Baca juga: Mendorong peran pers melawan hoaks
Pewarta: Masnun
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019