"RUU Masyarakat Adat ini merupakan satu kebijakan hukum yang mampu mengikat Masyarakat Adat terlibat aktif dalam mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat," ujar Muntaza di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Minggu.
Muntaza mengatakan payung hukum untuk melindungi perempuan adat menjadi sangat penting, mengingat masih terdapat tindak kekerasan dan diskriminasi di dalam komunitas adat.
"Kami juga menyadari bahwa di dalam Masyarakat Adat terdapat hak-hak kolektif perempuan yang tidak terlindungi oleh beragam kebijakan di Indonesia," tambah Muntaza.
RUU Masyarakat Adat diyakini Muntaza sebagai satu-satunya kebijakan yang mampu melindungi hak-hak kolektif perempuan adat serta menjaminkan partisipasi perempuan adat di dalam pembangunan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut Muntaza menjelaskan beberapa contoh tindak kekerasan dan diskriminasi yang terjadi kepada perempuan dalam komunitas adat adalah tradisi potong jari, dan menikah paksa bagi korban perkosaan dengan pelaku.
"Bagaimana caranya mengurus hal ini, ketika ada kebudayaan atau praktik budaya yang sebetulnya melakukan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, RUU Masyarakat Adat adalah jawabannya," jelas Muntaza.
RUU masyarakat adat dikatakan Muntaza dapat menjadi salah satu kebijakan yang membuat masyarakat adat masuk di dalam kehidupan bernegara.
Kendati demikian sejak akhir November 2013, RUU Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan. Bahkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh enam kementerian pada Februari 2018, belum juga diserahkan kepada DPR.
Padahal DIM tersebut merupakan hal yang krusial sebagai pra-syarat untuk pembahasan dan proses pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019