Ternate (ANTARA News) - Ribuan warga kota Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (Malut) yang bermukim di dekat pantai sore itu berbondong-bondong mengungsi ke daerah ketinggian sesaat setelah beredarnya informasi akan terjadinya Tsunami.

Warga berusia lanjut, ibu hamil dan penyandang disabilitas tidak mau ketinggalan ikut mengungsi, karena mereka tidak mau menjadi korban pada bencana tsunami di Palu, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu.

Penjelasan dari pemerintah daerah setempat bahwa informasi akan terjadinya tsunami itu hanya hoaks atau berita bohong tidak menghalangi warga untuk mengungsi ke daerah ketinggian, bahkan mereka tetap bertahan tempat pengungsian, seperti di halaman Kantor Bupati Halmahera Selatan hingga esok harinya.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Malut, mencatat informasi hoaks akan terjadinya tsunami dan mengakibatkan warga mengungsi seperti itu juga terjadi di berbagai daerah lainnya di provinsi berpenduduk 1,2 juta jiwa ini, di antaranya di Kota Ternate, Halmahera Utara, Kota Tidore Kepualan dan Kabupaten Pulau Morotai.

Wilayah Malut yang berada daerah rawan gempa bumi dan tsunami serta masifnya pemberitaan saat terjadinya gempa bumi dan tsunami di Palu dan terakhir di Banteng dan Lampung membuat warga di Malut begitu reaktif setiap menerima informasi akan terjadinya tsunami tanpa mengecek apakah informasi itu benar atau hoaks.

Oknum penyebar hoaks akan terjadinya tsunami itu, seharusnya menyadari bahwa perbuatan mereka mengakibatkan dampak buruk di masyarakat, seperti keresahan, terganggunya aktivitas ekonomi dan mengancam keselamatan para penderita penyakit jantung.

Hoaks mengenai SARA yang juga sering beredar di masyarakat juga tidak kala berbahayanya, karena bisa memicu terjadinya konflik, demikian pula hoaks yang terkait dengan politik, tidak saja merusak nilai-nilai demokrasi, tetapi juga berpotensi mengacaukan stabilitas di masyarakat.

Begitu berbahayanya hoaks sehingga dalama ajaran Islam, seperti dijelaskan Ketua Majelim Ulama Indonesia (MUI) Kota Ternate, Ibrahim Muhammad, menyampaikan sesuatu yang tidak benar atau bohong dapat disamakan dengan fitnah yang derajat kesalahannya lebih kejam dari pembunuhan.

Ada sejumlah tuntunan dalam Islam untuk tidak terjebat dengan informasi hoaks, di antaranya selalu selektif dalam menerima setiap informasi dan jika ragu-ragu mengabaikannya atau melakukan pengecekan terlebih dahulu kepada sumbernya atau pihak yang terkait dengan informasi itu.

Kalau informasi itu ternyata benar dan manfaatnya bagi masyarakat luas, misalnya informasi mengenai adanya potensi ancaman penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) bisa disebarluaskan, tetapi kalau mengenai aib seseorang harus disimpang.

Menghadapi momentum pesta demokrasi pada 2019 ini, informasi hoaks banyak beredar di masyarakat, baik yang terkait dengan calon legislatif maupun calon presiden/wakil presiden dan untuk itu dituntut kedewasaan dan rasionalitas dari masyarakat dalam menyikapinya.

Peran Pers

Pers sebagai jembatan informasi di masyarakat dituntut perannya untuk melawan hoaks, di antaranya dengan cara menyajikan berita yang sebenarnya terhadap setiap informasi yang beredar di masyarakat.

Misalnya ketika ada informasi hoaks akan terjadinya tsunami, pers harus segera melakukan klarifikasi kepada Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan pihak terkait lainnya kemudian menginformasikannya kepada masyarakat dalam bentuk berita, sehingga masyarakat menjadi tenang dan tidak terpengaruh dengan informasi hoaks itu.

Pers yang memiliki jangkauan yang luas dan lebih cepat sampai ke masyarakat, seperti televisi, radio dan berita online sangat efektif untuk melakukan peran itu, apalagi masyarakat sekarang banyak menggunakan gadget yang bisa dengan mudah mengakses berita.

Peran lain yang dapat dilakukan pers untuk melawan hoaks, seperti disampaikan wartawan senior di Malut, Safruddin Ganda adalah memberi edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya hoaks, baik dari segi hukum maupun dampak negatifnya.

Selain itu, menginformasikan kepada masyarakat ciri-ciri informasi hoaks seperti sumbernya tidak jelas, materinya bersifat provokatif tidak ada klarifikasi kepada pihak terkait dan banyak menyajikan data yang tidak rasional.

Kalau masyarakat bisa mengetahui ciri-ciri informasi hoaks maka ketika mereka menerima sebuah informasi akan dengan mudah mengetahuinya apakah informasi itu benar atau hoaks, yang pada gilirannya akan menjadi pertimbangan dalam menyikapinya.

Dewan Pers dan organisasi kewartawanan perlu pula terus menginformasikan kepada masyarakat, perusahaan media massa dan wartawan yang legal setiap daerah, sehingga bisa membantu masyarakat untuk mengecek sumber berita apakah dari media massa yang legal atau bukan.

Profesionalisme pers, menurut anggota DPRD Malut, Irfan Umasugi, tidak kala penting dalam upaya melawan hoaks, karena bisa jadi justru pers sendiri yang menjadi bagian dari penyebaran hoaks itu.

Misalnya ketika ada nara sumber menyampaikan sebuah informasi yang sebenarnya informasi itu adalah hoaks yang kemudian tanpa melakukan klarifikasi dan analisa mendalam atas informasi itu langsung memberitakannya.

Pers yang independen juga diharapkan tidak hanya dalam slogan tetapi harus implementasikan secara nyata karena pers yang tidak indenpenden memberi celah menjadi jembatan penyebaran hoaks dari pihak tertentu yang ingin menjatuhkan pihak lain.

Kecenderungan penggunaan hoaks untuk menjatuhkan lawan, termasuk dalam percaturan politik dewasa ini cukup marak dan di situ pers dituntut untuk teguh mempertahankan idealisme agar harapan menjadikan pers sebagai pestisida untuk membunuh hoaks dapat diwujudkan.

Baca juga: Pers dan jebakan hoaks untuk milenial
Baca juga: Pers dan usaha mendorong ekonomi digital
Baca juga: Pers jadi penopang keberhasilan pembangunan

Pewarta: La Ode Aminuddin
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019