Pers di Indonesia lahir dari idealisme pendiri bangsa untuk menyuarakan semangat memperjuangkan kemerdekaan kepada masyarakat luas, sejak zaman penjajahan oleh Belanda.
Sejak akhir abad 19, para pejuang sudah menyadari pentingnya penguasaan komunikasi publik. Merebut kemerdekaan tidak bisa hanya melalui perang fisik, melainkan juga membutuhkan diplomasi dan pembentukan opini publik.
Kondisi Masyarakat Indonesia yang bertahun-tahun hidup dalam penjajahan perlu disadari dan diyakini, bahwa kita bisa merdeka. Optimisme masyarakat harus dibangun melalui tulisan-tulisan yang menggelorakan.
Para cendikia kemudian memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran masyarakat, untuk berjuang bersama demi kemerdekaan.
Sejarah mencatat, sejumlah surat kabar sudah hadir sejak abad 18, di antaranya Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 hingga Juni 1746), Bataviasche Courant (1817) dan Bataviasche Advertentieblad (1827).
Dan pada 1908, Dr Wahidin Soediro Hoesodo, Dr Soetomo , Goenawan Mangoenkoesoemo serta Soeradji berupaya menyebarluaskan pemikirannya melalui tulisan, dan menerbitkan majalah Boedi Oetomo.
Sejak lahirnya Boedi Utomo, pers menjadi sarana komunikasi utama untuk menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia.
Bahkan, Presiden Indonesia pertama, Soekarno juga aktif menulis di berbagai media cetak untuk meraih kemerdekaan.
Industri
Namun kini, setelah Indonesia merdeka selama 73 tahun, idealisme pers menghadapi tantangan dari industri.
Tidak bisa dipungkiri, biaya industri pers sangat besar. Sementara, persaingan mendapatkan "kue iklan" semakin ketat, seiring makin banyaknya perusahaan pers yang bermunculan.
Pers dihadapkan pada pilihan, mengikuti arus, atau tenggelam dalam idealisme. Pers harus bergerak agar dapat bertahan di era digital. Media cetak mulai ditinggalkan, sejumlah perusahaan media cetak bahkan tutup.
Sayangnya, sejumlah perusahaan media mulai terjebak pada persaingan industri dan mengorbankan idealisme demi mengejar rating dan `klik`.
Semangat pers untuk memajukan Indonesia, mulai pudar, seiring banyaknya berita yang dianggap lebih "seksi", demi mengejar target jumlah pembaca.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Atal Depari mengingatkan semua pewarta untuk membuat berita yang mengandung perdamaian, bukan sebaliknya.
"Ruang publik harus diisi berita mencerahkan, yang damai. Enggak boleh ke sana ke sini," kata Atal Depari saat melantik pengurus PWI Kepri.
Dan kondisi yang lebih memilukan, adalah demi industri, entah itu mengejar kecepatan atau terkait kepentingan pihak tertentu, wartawan justru menyebarkan hoaks.
Karenanya, Atal terus mengingatkan agar wartawan lebih memilah, agar tidak terjebak menyebarkan hoaks.
"Ajak masyarakat untuk tenang," kata dia.
Ketua PWI Kepri, Chandra Ibrahim mengatakan, sudah selayaknya media bekerja sama dengan pemerintah, demi memproduksi berita yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan pada masyarakat.
Industri pers, harus mengutamakan idealisme, demi kesejahteraan masyarakat, ketimbang mendahulukan kepentingan industri yang memperdaya.
Gubernur Kepri, Nurdin Basirun juga mengajak praktisi media mengutamakan idealisme dan memerangi hoax.
"Keutuhan Indonesia harus selalu kita jaga. Jangan rusak karena berita hoax. Kita harus berpegang teguh kepada empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika," kata Gubernur.
Berita bohong dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, apalagi bila hoaks menyudutkan pihak tertentu dan terkait dengan SARA.
Ia mengatakan Indonesia merupakan negara yang wilayahnya luas, kaya dan masyarakatnya terdiri dari beraneka suku dan budaya. Keberagaman dan perbedaan itu hendaknya dijadikan aset bangsa.
"Toleransi dan kerukunan antarumat beragama juga tidak kalah penting dalam mewujudkan persaudaraan kemanusiaan," kata Gubernur.
Gubernur Kepri, Nurdin Basirun mendukung komitmen PWI untuk menjaga kondusifitas, dengan berita-berita yang mencerdaskan dan menyejukkan.*
Baca juga: Media dan tantangan teknologi abad milenial
Baca juga: Pers garda terdepan penyokong pembangunan
Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019