Jakarta (ANTARA News) - Lukisan umumnya berisi ide kreatif tanpa batas dari penciptanya yang tak jarang membuat banyak orang mengernyit untuk menangkap maknanya. Tidak banyak pelukis yang menuangkan fakta: proses, kejadian, bentuk, warna, atau rasa. Dari yang sedikit itu dapat disebut Subroto Sm (61), Aming Prayitno (64), dan Sun Ardi (68). Hingga usia senja mereka tetap berusaha menangkap fakta dan membungkusnya dalam lukisan. Pun pada pameran lukisan bertajuk "Enwrap The Facts", yang digelar di Galeri Milenium, Jakarta 3 Oktober - 5 November 2007, fakta-fakta yang ditangkap ketiga pelukis itu dibungkus pada karya-karya nan apik. Subroto, Aming, dan Sun Ardi adalah sejawat lama yang mengajar di Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Subroto dan Aming masih mengajar, sedangkan Ardi sudah pensiun. Subroto menampilkan figur-figur manusia yang dinyatakan secara ekspresif dengan media akrilik tanpa menggunakan kuas melainkan dengan botol plastik berisi cairan cat yang dituangkan dengan cara menekannya. "Detil-detil tak terlalu dipikirkan, sebab yang mau dinyatakan oleh Subroto adalah esensinya, yakni dinamisme rasa yang selalu bergerak," tutur Direktur Program Pascasarjana ISI Yogyakarta Dr M Dwi Marianto MFA dalam katalog pameran tersebut. Kesan dari Marianto itu tertambat pada lukisan Subroto berjudul "Bercanda #1" yang menggambarkan seorang ibu sedang mengangkat tinggi-tinggi bayinya dan mengajaknya berbicara, sedangkan kakak di bayi mencandai dari bawah. Detil dari obyek lukisan itu tidak terlihat rinci hanya berupa guratan garis yang cenderung coretan-coretan, tetapi bentuknya jelas seorang ibu dan dua anaknya, sedangkan esensinya menggambarkan kasih sayang seorang ibu. Mengenai karya-karyanya, Subroto -kelahiran Klaten, Jateng 23 Maret 1946- yang pernah belajar seni keramik di Universitas Gakugei Tokyo, Jepang (1975-1977) menyatakan bahwa dia menggunakan dua pendekatan. "Kadangkala saya hanya ingin membuat bentuk-bentuk tanpa memikirkan isinya. Di saat lain saya melukiskan berdasarkan tema tertentu seperti kasih saya ibu-anak, perasaan manusia yang terhimpit, bencana alam dan sebagainya," kata peraih penghargaan "Wendy Sorensen Memorial Fund" dari AS tahun 1968 untuk lukisan terbaik ulang tahun ASRI. Subroto mengakui dalam visualisasinya berbagai ide diwujudkan dalam suatu gubahan bentuk figuratif yang bersifat esensial, dikerjakan secara spontan dan ekspresif dengan bertumpu pada kekuatan garis. "Dalam bentuk lukisan yang sederhana namun unik ini saya juga ingin menampilkan getaran tangan dan perasaan mendalam," katanya. Sementara Aming menghadirkan abstraksi-abstraksi dari simbol-simbol dan bentuk-bentuk biomorfik yang dipetiknya dari kehidupan nyata sehari-hari dan dari rasa religiusitasnya. Ia menghadirkan ide-ide seninya dalam abstraksi-abstraksi yang dibentuk dengan tekstur-tekstur semu dan nyata sebagai media yang telah lama dieksplorasi dan jadi ciri khasnya. Aming, kelahiran Surakarta 9 Juni 1943 yang pernah belajar seni lukis dan seni serat di "Koniklijk Academie Voor Schoon Kunsten" Belgia (1976-1977) mengatakan, konsep penciptaan karya seninya adalah kehidupan dan religiusitas. "Kehidupan dan religiusitas menjadi tumpuan atas goresan, warna, nada, serta irama yang diwujudkan melalui eksplorasi tekstur dalam setiap lukisan," kata peraih "Raden Saleh Prize" untuk Seni Lukis Terbaik Indonesia 1972. Sedangkan Sun Ardi melukiskan figur-figur secara semi ilustratif. Ada narasi singkat di sana. Figur-figur perempuan dihadirkan, ada yang berdiri sendiri atau melintas sendirian. Ada pula yang menjadi subyek amatan dari figur lain yang bukan perempuan. Juga karya-karyanya yang mengisahkan suasana di hadapan alam yang luas dan yang mengenai alam itu sendiri. Sun Ardi kelahiran Yogyakarta 18 Oktober 1939 dan pernah menggelar pameran tunggal seni lukis di Museum Seni Hiroshima, Jepang (1971) menyatakan, konsep karyanya adalah elemen visual garis yang merupakan hal terpenting dalam lukisan. "Garis menampilkan bentuk, karakter, irama, matra, serta garis menjadi medium untuk mentransfer dan menstrukturkan ide di kanvas sehingga tampak," kata Ardi. Bagi Marianto, ketiga perupa itu sesungguhnya menghadirkan impian, khayalan, rasa, memori-memori segar yang selalu hidup aktual dalam pikiran dan relung hati mereka sendiri. Setiap seniman, katanya, sesungguhnya ketika berkarya ingin membungkus segala sesuatu yang berkecamuk dinamis dalam rasa dan pikirannya - apakah itu yang erotis, mulia, liar, dan apa saja - untuk diejawantahkan melalui metafor-metafor yang dianggap mewakili totalitas dirinya. "Persoalannya adalah seberapa jauhkah ia mau dan mampu menyatakan nuansa totalitas itu menjadi sesuatu yang nyata dan terindra? Semakin dalam dan eksploratif penapakan ke dalam totalitas ini akan semakin menariklah karya itu," kata Marianto. Tampaknya Subroto, Aming, dan Sun Ardi berhasil menggapai hal itu. (*)
Pewarta: Oleh Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007