Politisi harus berpijak pada hukum dan tradisi kemasyarakatan kita,
Sukabumi (ANTARA News) - Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan politisi sebaiknya belajar dari pertunjukan kesenian "lisung ngamuk" yang menggambarkan bernegara harus dengan tali hukum agar semuanya tidak kacau.
"Dari sini politisi bisa belajar. Bahwa politisi harus berpijak pada hukum dan tradisi kemasyarakatan kita," kata Hasto saat bersilahturahmi ke Pondok Pesantren Dzikir Al Fath yang dipimpin Syekh Fajar Laksana di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat.
Dalam kunjungannya ini, Hasto yang didampingi Juru Bicara TKN Ahmad Basarah dan Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat Tubagus Hasanuddin disuguhi berbagai atraksi pencak silat, permainan bola api dan lisung ngamuk.
Dalam permainan lisung ngamuk ini, Syekh Fajar Laksana mengajak Hasto untuk bermain langsung.
Permainan 'lisung ngamuk'. Lisung itu diletakkan di sebuah kayu dan direkatkan. Sebuah tali lalu diikatkan di bagian ujungnya.
Empat orang santri lalu mengangkat lisung itu, masing-masing di keempat sudutnya.
"Permainan ini adalah simbol bernegara. Tali ini adalah pengikat lisung. Sama seperti negara kita. Tali ini simbol hukum. Begitu tali ini dilepas, akan ngamuk. Kalau negara tanpa hukum, tanpa UUD 1945, bisa ngamuk," ujar Syekh Laksana.
Dan benar saja, ketika Hasto yang telapak tangannya dipegang Syekh Laksana diminta melepas tali dan menepuk ujung rangkaian lisung itu, lisung langsung mengamuk dan keempat santri berputar-putar.
Santri yang tak kuat lalu terlempar. Mereka digantikan santri lainnya yang juga terputar-putar tak jelas mengikuti putaran lisung yang 'mengamuk'.
Usai permainan itu, Hasto mengatakan bahwa pertunjukan kesenian itu menunjukkan bagaimana bernegara harus dengan tali hukum agar tidak terjadi kekacauan.
Sebelumnya, Hasto juga diajak bermain bola api, yakni sebuah kelapa tua yang sudah dikupas kulit luarnya sehingga tersisa batoknya dibawa masuk.
Batok kelapa yang dilumuri oleh minyak tanah itu dibakar.Para pemainnya lalu menjadikan batok kelapa itu sebagai obyek tarian. Dipegang di tangan lalu diputar-putar seperti sedang menari, lalu dilempar ke pemain lainnya.
Hasto lalu meminta kesempatan untuk ikut melakukan permainan itu. Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat Tubagus Hasanuddin bermain kendangnya.
Sementara Wasekjen Bamusi Nova Andika maju untuk bermain boles api bersama Hasto.
Batok kelapa membara itupun mereka mainkan. Nova tampak dengan bagus memainkan gerakan sambil memegang bola api itu. Lalu dilemparnya ke Hasto yang menangkap dan memainkannya.
Syekh Laksana dan para santrinya menonton pertunjukan itu dengan teriakan dan applause riang gembira.
Permainan berikutnya adalah gendam. Kali ini, pusatnya adalah Syekh Laksana sendiri. tujuh orang santri pesilat diminta berdiri sejajar.
Lalu menggunakan tenaga dalamnya, Syekh Laksana, sambil berlari, menepuk kening para pesilat yang langsung roboh ke tanah.
Setelah itu, Syekh menempatkan kuda-kudanya, lalu menhentak-hentakkan kakinya ke tanah. Para santri yang tadinya pingsan langsung terbangun dan bisa berdiri.
Hasto lalu diminta Syekh Laksana mengulangi apa yang barusan dilakukannya. Dia memegang tangan Hasto dan berbisik ke telinganya.
Hasto melakukan apa yang sebelumnya dilakukan Syekh Laksana. Dan para santri pesilat kembali roboh ke tanah.
Hasto didampingi Syekh Laksana lalu berdiri bersebelahan, menghentakkan kaki ke tanah dan para pesilat berdiri.
Sugguhan berbagai atraksi ini, membuat Sekretaris TKN Jokowi-Ma'ruf ini mengenang peristiwa tahun 1957.
Saat itu, Bung Karno melakukan diplomasi ke Eropa dan AS yang membawa sejumlah seniman dan pesilat.
"Kita jadi paham, bahwa dari silat ini, bagaimana watak dan kepribadian kita sebagai bangsa bisa terlihat. Tak heran dulu Bung Karno mewajibkan sekolah agar mengganti olahraga kasti yang peninggalan Jepang, dengan silat ini," ujar Hasto
Baca juga: Hasto bantah tudingan Megawati pakai konsultan asing saat Pilpres 2009
Baca juga: Hasto sebut Safari Kebangsaan VIII perkuat Jokowi-Ma'ruf di Jabar
Baca juga: Hasto yakin KIK mampu jadikan Jabar basis suara Jokowi
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019