pasar masih khawatir tentang dampak yang belum terealisasi sama sekali pada permintaan dari fundamental ekonomi makro yang lebih lemah
New York (ANTARA News) - Harga minyak turun lebih dari dua persen pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), karena pasar menghadapi kekhawatiran bahwa pertumbuhan permintaan global akan melambat di tahun mendatang.
Rebound dari posisi terendah akhir Desember tampaknya terhenti di tengah kekhawatiran bahwa perang dagang antara AS dan China akan berlanjut, membebani permintaan. Pasar juga menghadapi kemungkinan bahwa produsen-produsen minyak tidak akan mematuhi sepenuhnya pemotongan yang disepakati tahun lalu.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret merosot 1,37 dolar AS menjadi menetap pada 52,64 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, sementara minyak mentah Brent untuk penyerahan April turun 1,06 dolar AS menjadi ditutup pada 61,63 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
"Koreksi terhenti, terutama karena kekhawatiran tentang pertumbuhan permintaan," kata Direktur Riset Pasar di Tradition Energy, Gene McGillian, di Stamford, Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.
"Tampaknya ada ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi dengan pembicaraan perdagangan, dengan pertumbuhan ekonomi global dan permintaan di tahun mendatang," katanya.
Secara khusus, kata dia, pasar khawatir tentang apakah permintaan cukup untuk menyerap pertumbuhan produksi minyak mentah dari AS.
"Fundamental-fundamental pasokan semakin berubah mendukung dalam beberapa pekan terakhir, tetapi terhadap ini pasar masih khawatir tentang dampak yang belum terealisasi sama sekali pada permintaan dari fundamental ekonomi makro yang lebih lemah," kata Kepala Strategi komoditas d Saxo Bank, Ole Hansen, .
Meskipun Amerika Serikat menerbitkan data pekerjaan yang kuat pekan lalu, pasar global tetap gelisah setelah China melaporkan pertumbuhan ekonomi tahunan terendah dalam hampir 30 tahun pada Januari. Itu memfokuskan perhatian lebih pada hasil pembicaraan AS-China untuk mengakhiri perang perdagangan antara dua ekonomi top dunia tersebut.
Harga minyak juga berada di bawah tekanan karena data mingguan yang diterbitkan oleh Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Rabu (6/2) menunjukkan peningkatan yang tidak diinginkan dalam stok minyak mentah.
Penurunan produksi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan merosotnya pasokan dari Iran dan Venezuela karena sanksi-sanksi AS telah membuat banyak analis memperkirakan bahwa pasar akan seimbang pada 2019.
Harga minyak menunjukkan kenaikan 20 persen sejauh tahun ini. Dukungan harga diberikan oleh pemangkasan pasokan yang dipimpin oleh OPEC untuk memperketat pasar.
Arab Saudi, pengekspor minyak utama dunia, mengatakan kepada OPEC bahwa pihaknya telah memproduksi 10,24 juta barel per hari (bph) pada Januari, dua sumber OPEC mengatakan kepada Reuters, sebuah pemotongan yang lebih dalam dari yang ditargetkan dalam pakta pasokan. Kerajaan itu memproduksi 10,643 juta barel per hari pada Desember.
"Kami percaya bahwa pasar keuangan mungkin melebih-lebihkan risiko resesi global," kata Kepala Riset di Pictet Wealth Management, Jean-Pierre Durante.
"Selain itu, harga minyak yang lebih rendah - harga berada di antara 14 persen dan 18 persen lebih rendah pada Januari daripada rata-rata 2018 - cenderung merangsang aktivitas ekonomi dan permintaan minyak, khususnya di pasar negara berkembang."
Sanksi-sanksi AS terhadap industri minyak Venezuela diperkirakan akan membekukan hasil penjualan ekspor minyak mentah Venezuela ke Amerika Serikat.
Baca juga: Dolar AS menguat, kekhawatiran pertumbuhan ekonomi Eropa meningkat
Baca juga: Harga emas turun berturut-turut, kerugian terpanjang dalam 18 bulan terakhir
Baca juga: Wall Street turun tertekan pertumbuhan dan ketidakpastian perdagangan global
Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019