Ambon (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Kamis (4/10) menjatuhkan vonis hukuman 15 tahun penjara dikurangi masa penahanan terhadap Sulthon Qolbi alias Assadullah alias Arsyad (37) yang dituduh menjadi otak di balik serangkaian aksi teror di sejumlah tempat di Maluku tahun 2005 lalu. Majelis Hakim yang dipimpin Imam Supriyadi dibantu Anthon Kadarisman dan Mulyoto dalam putusannya menilai terdakwa terbukti melanggar pasal 6 UU Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme juncto (jo) pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP . Terpidana diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp2.000 dan harus tetap berada dalam ruang tahanan. Putusan majelis hakim itu jauh lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Siti Ariyani dan Oceng Al Mahdani dalam persidangan 27 September lalu, yang menuntut terdakwa dengan hukuman seumur hidup karena telah melanggar pasal 6 UU Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 14 dan pasal 15 dan pasal 9 UU nomor 15 tahun 2003. Majelis hakim berpendapat terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan serangkaian perbuatan tindak pidana terorisme menyebabkan enam orang tewas dan 13 lainnya luka-luka, sesuai dengan keterangan 16 orang saksi ditambah surat bukti berupa BAP polisi dan surat visum et repertum para korban. Sejumlah fakta yuridis yang terungkap selama masa persidangan menyangkut keterlibatan terdakwa di antaranya, terdakwa baru tiba di Ambon tahun 2001 dan dikirim oleh Komisi Penanggulangan Krisis Kemanusiaan (Kompak) bersama Abdullah Umamitty dengan tugas menjadi guru mengaji. Terdakwa mengaku kenal dengan Asep Djaja dan Ongen Pattimura (keduanya tahanan teroris) dan pernah bertemu keduanya karena dianggap senior, dan kemudian bersama saksi Assep Djaja, Abdulah Umamity, Rizky, Ichkas, Abu Harun (masih buron-red) dan Sandi Arif melakukan penembakan terhadap kapal motor Lai-Lai-7 di perairan Ambalau pada Pebruari 2005 lalu menyebabkan dua penumpang luka-luka. Dalam insiden ini, pria kelahiran Sumenep (Madura) 14 Maret 1970 itu mengaku dalam kondisi mabuk laut sehingga sepucuk pistol jenis FN 45 merek Ruger yang digenggamnya tidak bisa digunakan menembak penumpang KM. Lai-Lai-7. Akibat ada tembakan balasan dari atas kapal, saksi Abdullah Umamity kemudian memerintahkan speed boat balik arah menuju Pulau Ambon dan semua senjata dikumpulkan, kemudian terdakwa kembali ke Sumenep dan baru ditangkap di Bandung pada Desember 2006. Namun keterlibatannya di sejumlah aksi kekerasan lain yakni pelemparan granat ke dalam angkot jurusan Passo - Mardika nomor polisi DE 703 yang dikemudikan Marthinus Manu di kawasan Ongkoliong Batu Merah mengakibatkan enam orang luka-luka, pada 25 Agustus 2005, aksi peledakan bom rakitan di pangkalan ojek desa Lateri, Kota Ambon peledakan bom di terminal Mardika tahun 2005, tidak terbukti. Begitupun tentang keterlibatan terdakwa dalam kasus penyerangan pos Brimob BKO asal Kaltim yang sedang bertugas di Desa Soki, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) 15 Mei 2005 yang mengakibatkan lima anggota Brimob dan seorang warga sipil tewas mengenaskan serta seorang anggota kelompok penyerang yang diketahui bernama Ikhlas tewas di tempat, juga tidak terbukti. Kuasa hukum terdakwa Ridwan Hasan menyatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari untuk mengajukan upaya hukum, karena mereka menganggap putusan 15 tahun penjara itu sangat berat bagi terdakwa. "Kami memperkirakan hukuman yang diberikan majelis hakim hanya lima hingga 7 tahun penjara, tetapi ternyata sangat berat, sehingga akan mengajukan banding," ujar Ridwan Hasan. Sedangkan terdakwa Arsyad langsung berteriak menyatakan keberatannya terhadap putusan itu sesaat setelah majelis hakim mengetuk palu untuk menutup persidangan. Sementara itu, JPU Siti Ariyani, secara terpisah juga menyatakan akan mengajukan kasasi terhadap putusan Majelis Hakim karena merasa putusannya terlalu ringan dan tidak sebanding dengan tindakan terdakwa yang mengakibatkan teror di masyarakat. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007