Purwokerto (ANTARA News) - Berbagai narasi bertemakan mantan kekasih acapkali hadir di media sosial sebagai bahan lucu-lucuan di kalangan milenial.
Seakan, bahasan mengenai mantan kekasih menjadi pesan pemersatu yang bisa mewakili perasaan anak muda, terutama mereka yang menyebut dirinya jomblo.
Frekuensi selera humor yang hampir sama tersebut, seakan mengonstruksi makna bahwa gurauan mengenai mantan kekasih adalah topik yang paling mudah diterima oleh kaum muda.
Lantas bagaimana bila topik mengenai mantan kekasih tersebut dijadikan narasi alternatif untuk menghadirkan sosialisasi kepemiluan yang kekinian?.
Satir mengenai anak muda yang masih mengenang mantan kekasih tentu saja menjadi gagasan cerdas yang bisa menjadi media untuk penyampaian pesan mengenai kepemiluan secara efektif.
Tujuannya tentu saja meningkatkan partisipasi masyarakat, khususnya pemilih pemula, yang saat ini disebut sebagai milenial.
Anak-anak muda yang dinamis tentu saja menyukai hal-hal kreatif yang jauh dari kata menjemukan.
Berangkat dari gagasan tersebut, Relawan Demokrasi KPU Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah menghadirkan konten kreatif sebagai materi sosialisasi kepemiluan.
Konten tersebut diproduksi dengan tema "Mantan Terindah" dan tentu saja mendapatkan respons positif di media sosial.
Anggota KPU Banyumas Hanan Wiyoko menjelaskan tema sosialisasi kepemiluan, "Mantan Terindah" itu, berisi ajakan untuk memilih dan datang ke TPS pada 17 April 2019.
Konten tersebut dibuat dalam bentuk meme menyerupai hasil tangkapan layar atau screenshot percakapan melalui aplikasi WhatsApp dengan ditambah emoticon layaknya percakapan remaja.
"Menurut pantauan tim kami, ternyata konten kreatif tersebut banyak disukai oleh warganet dan menjadi bahan perbincangan yang cukup viral di media sosial," kata Hanan.
Pembuat meme "Mantan Terindah" sekaligus Koordinator Relawan Demokrasi Banyumas basis warganet, Setia Budi Ronnie Tjahyanto, menambahkan ide tersebut terinspirasi dari konten ajakan memilih saat Pilkada Bandung 2018.
"Lalu saya kreasikan lagi, saya buat seolah-olah pesan atau chat dari mantan pacar yang mengingatkan untuk datang ke TPS. Syukurlah banyak yang suka," ujarnya.
Memproduksi konten seperti meme tersebut, kata dia, merupakan salah satu bagian kerja dari Relawan Demokrasi Banyumas basis warganet.
Pihaknya juga membuat konten lain, seperti infografis, percakapan daring, dan optimalisasi medsos untuk menyebarkan informasi kepemiluan.
Konten tersebut, juga dimanfaatkan pihaknya untuk menginformasikan tentang bahaya penyebaran berita hoaks yang menyangkut kepemiluan.
Indikator
Tingkat partisipasi masyarakat akan menjadi salah satu indikator sukses tidaknya pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, April mendatang.
Partisipasi yang dimaksud tak hanya soal warga ikut memberikan suaranya saat hari pemungutan suara, melainkan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan sosialisasi Pemilu 2019.
Internet yang kini menjadi ruang publik, memberikan kesempatan bagi pengguna untuk memproduksi ulang konten-konten kreatif yang ada hingga akhirnya menjadi viral.
Fenomena itu perlu lebih jeli lagi ditangkap oleh penyelenggara pemilu agar luaran sosialisasi menjadi lebih berwarna dan dekat dengan hati para calon pemilih.
Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman, Edi Santoso menambahkan internet ibarat lautan dengan keberlimpahan informasi sehingga kreativitas dan keunikan akan menjadi daya ungkit yang menjadikan suatu konten sebagai pusat gravitasi.
Sebagaimana proses penyampaian pesan yang membutuhkan trik agar sampai dengan baik di hati penerima pesan, maka konten yang dimunculkan juga harus disesuaikan dengan karakter warganet.
Konten yang lucu, nyambung dengan suasana batin atau kondisi terkini, selalu ada tempat. Istilah anak sekarang, kekinian. Isu soal kegalauan, mantan kekasih, apalagi soal getirnya jomblo, merupakan contoh isu sosial yang sangat anak muda sekali, sehingga bila dipadukan dengan pesan kepemiluan akan lebih mudah diterima di hati kaum muda.
Dalam logika kontestasi, kreativitas termasuk dalam modal simbolik, yakni kemampuan mengartikulasikan pesan-pesan yang sesuai atau nyambung dengan sasaran.
"Ditambah dengan modal sosial, yakni jaringan sosial, misalnya di `tweet` atau `retweet`, di `share` atau `reshare` oleh mereka yang pengikut atau pertemanannya banyak, maka akan berpotensi besar menjadi viral," katanya.
Penyelenggara pemilu, kata dia, memang harus memperhatikan ruang virtual tersebut, karena keberadaannya makin signifikan.
"Sudah banyak sekali penduduk Indonesia yang menggunakan internet. Dan sebagian besarnya menggunakan media sosial. Pemilih milenial sendiri, diprediksi lebih dari 30 persen, maka dengan cara apalagi sosialisasi yang efektif, kalau bukan dengan internet," katanya.
Internet dan media sosial yang interaktif, tambah dia, bisa dimanfaatkan untuk edukasi pemilu yang lebih bermutu.
"Ini sekaligus bisa menangkal fenomena disinformasi yang kian memprihatinkan di internet. Dan biar diterima warganet, sosialisasi ini harus unik dan menarik," katanya.
Pada akhirnya, demi makin suksesnya pesta demokrasi tentu dibutuhkan terobosan yang kreatif dan mengikuti perkembangan zaman. Apalagi jika yang ingin disasar adalah pemilih pemula, kaum milenial yang suka dengan sesuatu yang menghibur dan tidak garing.
Baca juga: Menolak stigma golput
Baca juga: Memerangi golput dengan kampanye santun
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019