Kotabaru (ANTARA News) - Begitu Hendra (11) kembali bergegas ke gubug untuk sekadar mengurangi terpaan sinar matahari yang membakar tubuhnya, ayahnya yang bergelantungan di atasnya berteriak agar si bocah jangan terlalu sering beristirahat. Hendra pun, seperti yang dilakukan puluhan bocah lainnya di kawasan itu, kembali memukulkan palunya ke bongkahan batu yang dilontarkan ayahnya, agar batu-batu itu menjadi bongkahan kecil (split). Wajah anak-anak usia sekolah dasar di Kecamatan Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, itu pun makin memerah menerima paparan mentari. Keringat terus bercucuran mengimbangi alunan palu yang dihantamkan anak-anak itu ke batu. Dahaga mereka pasti tak terperi, karena mereka mengaku tetap berpuasa selagi membantu orang tua masing-masing mengumpulkan split. Batu-batu itulah sumber pendapatan mereka. Hendra, siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gedambaan, mengaku tiap pagi buta sejak awal puasa bersama saudara-saudaranya menyiapkan peralatan berupa palu, sekop, dan linggis untuk memecah batu. Sekitar pukul 06.00 WITa, Hendra yang berbadan kecil itu bersama ayahnya Nikir (65), berangkat ke sebuah bukit yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Di kawasan perbukitan yang penuh dengan lubang-lubang besar akibat terus diambil batunya tersebut, Hendra berjumpa dengan kawan sebanyanya yang juga turut membantu orangtua masing-masing. Sesampainya di lokasi penambagan batu, masing-masing keluarga membangun gubug kecil sekadar untuk bernaung dari terik matahari. Gubug yang mereka bangun diatapi daun rumbia dan tiangnya terbuat dari balok-balok kecil yang diperoleh dari sekitar. Di gubug itulah mereka bernaung sementara, menyimpan pakaian ganti. Setelah itu, para orang tua naik ke perbukitan sambil membawa linggis dan sekop untuk membongkar bebatuan pada tebing-tebing terjal. Agar bisa menyungkil bongkahan batu, Nikir dan orang dewasa lainnya, mendaki setinggi 15 meter dan mengaitkan pinggangnya ke seutas tali yang ujung lainnya telah diikatkan pada sebuah pohon di atas bukit. Sambil bergelantungan, para penambang batu itu melepaskan bongkahan batu agar terpisah dari bukit dan menggelinding ke dasar bukit. Di sana, anak-anak mereka siap melanjutkannya dengan memalu batu-batu itu hingga menjadi split. Split-split itu kemudian mereka kumpulkan di tanah lapang, mengantisipati bila para pembeli datang. "Meskipun sudah dibantu anak-anak, kami tetap tidak dapat mengumpulkan satu ret batu split sehari," kata Acong (40) orang tua dari Muhammad (11), siswa kelas V SDN Gedambaan. Satu ret setara dengan 3,5 meter kubik yang dijual seharga Rp65 ribu. Biasanya, para orang dewasa sajalah yang mengerjakan semua proses pengumpulan split itu, karena anak-anak mereka bersekolah. Sedangkan pada bulan puasa ini, ketika anak-anak libur sekolah, mereka berharap mendapatkan pendapatan lebih banyak dibanding hari biasa dengan mendapat bantuan tenaga. "Sebenarnya tidak tega mengajak mereka bekerja, tetapi bagaimana lagi kami tidak punya harapan lain untuk membantu mencari uang untuk keperluan lebaran," kata Acong. Selain Muhammad dan Hendra, di wilayah itu masih terdapat puluhan anak nelayan yang mengisi masa liburan puasa ini dengan membantu orangtuanya menjadi pemecah batu. Sama (61), nelayan asal Sarang Tiung, mengaku terpaksa melibatkan Hadijah (12) anaknya, membantu memecahkan batu split untuk dijual kepada pengumpul seharga Rp65 ribu per ret. "Kalau nggak dibantu, satu ret baru selesai tiga sampai empat hari. Tetapi sekarang ini dua hari sudah dapat satu ret, lumayan dapat menutupi kekurangan di rumah," ujar Sama, seraya mengatakan, menjelang lebaran ini kebutuhan rumah tangganya semakin meningkat. Hadijah yang memakai baju lengan panjang dengan tutup kepala sehelai kain batik hanya tersenyum saat ditanya kegiatannya mengisi masa liburan sekolah selain membantu memecah batu. Begitu juga dengan Santi (10) dan Mia (13). Kedua murid SDN Sarang Tiung tersebut sejak awal liburan, waktunya dihabiskan untuk membantu orangtuanya menjadi pemecah batu. "Lumayan, untuk mendapatkan ret-retan bisa lebih cepat, mumpung musimnya banyak proyek bangunan butuh split banyak," kata Mulyadi (35), sambil membersihkan darah di kakinya karena tertimpa batu.Memprihatinkan Azhar (48), pengumpul sekaligus pemilik gunung, mengaku sangat prihatin melihat nasib anak-anak yang dipaksakan membantu para orangtuanya tersebut. "Habis tidak ada lagi keluarga lain yang diharapkan dapat membantu mencari nafkah, terlebih kondisi para nelayan saat ini sudah sulit karena lama tidak melaut," katanya. Ia mengaku sedang mencari pengusaha yang sanggup menanamkan modalnya untuk membeli mesin pemecah batu, agar anak-anak tidak dilibatkan dan pekerja dapat meningkatkan penghasilannya. "Dengan cara manual, rata-rata produksi batu split per hari sekitar 30 ret, tetapi dengan mesin kraser dapat ditingkatkan hingga ratusan ret per hari," ungkapnya. Sementara itu, Kepala Dinas Transmigrasi dan Ketenagakerjaan Kotabaru, Saidi Noor, mengaku segera melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang memperkerjakan anak-anak di bawah umur. "Karena hal itu melanggar undang-undang RI nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta aturan ketenagakerjaan," katanya. Namun, kata Saidi, pihaknya juga masih mempertimbangkan kondisi orangtua mereka yang sangat terbatas yang mengharuskan anak-anaknya ikut terlibat mencari nafkah. "Kalau kita melarang mereka turut bekerja, lantas apa yang bisa kita perbuat untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya. Berbeda dengan karyawan tetap pada perusahaan, mungkin kita bisa melakukan penertiban sesuai aturan yang berlaku jika mereka memperkerjakan karyawan di bawah umur," ujarnya. Sejak harga bahan bakar melonjak, menjadi kebiasaan bagi anak-anak nelayan di pesisir utara Pulau Laut Kotabaru memanfaatkan musim liburan panjang sekolah untuk membantu menjadi pemecah batu di pegunungan Gedambaan. Pada liburan selama bulan Ramadhan 1428 H, anak-anak pesisir di Kotabaru itu tampak lebih bersemangat, walau kelelahan bertambah karena sedang berpuasa, sehingga mau tidak mau harus mencuri-curi kesempatan untuk berteduh di bawah gubug sejenak. Hendra juga mengaku sangat lelah akibat memalu batu, karena dia juga sedang berpuasa. Tetapi, katanya, dengan jalan seperti itu lah orangtuanya bisa memperoleh uang, sehingga setidaknya masih ada baju baru untuk lebaran yang bakal diperolehnya. (*)

Oleh Oleh Imam Hanafi
Copyright © ANTARA 2007