Jakarta (ANTARA News) - Sebagian warga yang tergolong nelayan, apalagi kalangan nelayan tradisional, masih banyak yang hidup dengan berpenghasilan rendah di berbagai daerah di Tanah Air.
Sebagaimana dituturkan oleh Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Prof Rokhmin Dahuri dalam sejumlah kesempatan menuturkan, nelayan dan pembudidaya miskin merupakan salah satu tantangan pemerintah dan pelaku usaha untuk menguatkan industri maritim di Indonesia.
Ia merujuk kepada data BPS pada tahun 2018, bahwa sekitar 20-48 persen nelayan dan 10-30 persen pembudidaya masih tergolong miskin.
Kondisi itu, salah satunya disebabkan harga jual hasil tangkap yang tidak sebanding atau terlampau murah ketimbang biaya produksinya.
Kuantitas produksi dari nelayan dan pembudidaya, lanjutnya, khususnya skala kecil dan menengah, masih terbilang rendah, dibanding pengusaha perikanan.
Hasil tangkapan yang rendah disebabkan karena sebagian besar nelayan dan pembudidaya masih menerapkan metode tradisional dalam berusaha.
Pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), juga telah mengupayakan bantuan permodalan untuk kalangan pemangku kepentingan sektor perikanan melalui pembiayaan lembaga keuangan atau bank mikro nelayan sebagai pendampingan permodalan bagi pelaku usaha perikanan.
Sekretaris Jenderal Nilanto Perbowo dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (31/1), bantuan permodalan nelayan yang diberikan pemerintah itu juga dalam rangka ingin memastikan industri perikanan dalam negeri tetap tumbuh.
Apalagi, pemerintah berkomitmen untuk memastikan peningkatan stok perikanan Indonesia dapat dimanfaatkan bangsa sepanjang masa, hingga ke generasi selanjutnya.
Hal itu, ujar dia, mengingat kondisi stok perikanan dunia yang terus mengalami krisis.
Merujuk FAO bahwa, kondisi stok sumber daya perikanan internasional darurat, di mana hanya 10 persen dalam posisi "under utilized", sedangkan selebihnya "over exploited".
Dorong perbankan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong berbagai perbankan untuk juga mulai memprioritaskan pembiayaan perikanan dalam rangka mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.
Dalam diskusi yang sama, Direktur Pengaturan Bank Umum OJK Eddy Mandindo Harahap menyatakan, pihaknya mendukung di bidang pembiayaannya di mana bank-bank atau industri keuangan lainnya didorong untuk juga mulai memprioritaskan pembiayaan di sektor perikanan.
Hal itu dilakukan selayaknya dengan berbagai kebijakan, dan arahan yang terukur dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian.
Ia mengungkapkan, total aset perbankan Indonesia sangat besar, baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank-bank ini dinilai berperan untuk membantu usaha masyarakat.
Dana yang disimpan di bank dalam bentuk tabungan dan deposito, lanjutnya, dapat disalurkan kepada masyarakat dan perusahaan yang memang membutuhkan dana atau kredit, termasuk untuk membantu akselerasi program pembiayaan di sektor kelautan dan perikanan.
Bank sendiri, telah menyediakan berbagai macam kredit, di antaranya kredit produktif, investasi, dan konsumtif.
Menurut Eddy Mandindo Harahap, kredit produktif dapat dimanfaatkan nelayan sebagai modal kerja misalnya untuk membeli bahan bakar, pakan ikan, maupun sembako awak kapal perikanan yang sifatnya modal kerja jangka pendek sebagai pembiayaan operasional.
Adapun kredit investasi dapat dimanfaatkan untuk membeli kapal atau peralatan melaut atau kegiatan budidaya yang dapat digunakan dalam jangka panjang.
Namun, nelayan tidak dianjurkan untuk mengajukan kredit konsumtif untuk pembelian motor, rumah, dan hal lain yang bersifat konsumtif dan tidak menghasilkan.
OJK juga mendorong perbankan untuk menyusun periode pembayaran yang disesuaikan dengan kemampuan dan kegiatan usaha nelayan.
Berdasarkan data OJK, Desember 2016 total kredit yang diberikan perbankan untuk sektor maritim mencapai Rp95,398 miliar. Pada 2017 meningkat menjadi Rp101,996 miliar, dan pada 2018 kembali meningkat menjadi Rp105,892 miliar.
Namun, Non Performing Loan (NPL) atau potensi kredit macet menunjukkan penurunan setiap tahunnya. NPL 2016 tercatat 5,28 persen, dan turun menjadi 3,97 persen di 2017, dan kembali turun menjadi 2,79 persen di tahun 2018.
Sinergi
Untuk itu, pemerintah terus bersinergi mendorong perbankan menyalurkan bantuan demi pertumbuhan sektor maritim yang merupakan sektor produktif dengan pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Caranya dengan memberikan bobot penilaian risiko kredit UMK sebesar 75 persen, lebih kecil dibandingkan bobot risiko korporasi sebesar 100 persen.
Sepanjang 2018, pemerintah melalui KKP juga telah menyelenggarakan berbagai program lainnya untuk mendorong kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) telah menyalurkan 562 unit bantuan kapal perikanan, 720 paket alat penangkap ikan, dan 138.679 premi asuransi nelayan.
DJPT juga membangun 11 lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Higienis, 134 syahbandar perikanan dengan 283 petugas, empat lokasi TPI perairan darat, dan empat lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT). Selain itu, DJPT juga melayani e-logbook 1.595 kapal penangkap ikan, menempatkan 252 observer kapal, penataan perizinan di 11 WPP, dan melayani 9.951 Sertifikat Hak Atas Tanah Nelayan (Sehat) nelayan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo ketika menerima perwakilan nelayan dari seluruh Indonesia juga mengingatkan agar mereka serta para pengusaha perikanan untuk mengoptimalkan penggunaan Bank Mikro Nelayan.
"Ini saya kira penting untuk dimanfaatkan para nelayan karena memang ini kami siapkan khusus untuk modal kerja, untuk modal investasi bagi nelayan," kata Presiden dalam sambutannya pada acara yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta, Selasa (22/1).
Dalam pertemuan itu Presiden didampingi antara lain oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki.
Menurut Presiden, sebanyak Rp132 miliar dana Bank Mikro Nelayan sudah tersalurkan dan digunakan oleh nelayan dan usaha perikanan. Sementara itu target penyaluran dana pinjaman Bank Mikro Nelayan sebesar Rp975 miliar.
Presiden mengatakan pinjaman dari Bank Mikro Nelayan memiliki bunga yang kompetitif yakni sebesar tiga persen.
Pengamat perikanan Abdul Halim menginginkan lembaga pembiayaan modal bagi nelayan yang dibuat oleh pemerintah harus selaras dengan tata kelola perikanan berkelanjutan.
Menurut dia, pembiayaan usaha perikanan yang disalurkan melalui BLU-LPMUKP (Badan Layanan Umum Lembaga Pengelolaan Modal Usaha Kelautan dan Perikanan) belum sepenuhnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya praktek pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Sejak 2017, KKP sudah mengoperasionalkan lembaga pengelolaan modal usaha kelautan dan perikanan tersebut.
Ia mencemaskan bahwa adanya bank mikro bagi nelayan itu hanya pengemasan pada tahun politik kali ini, karena masalahnya adalah pendistribusian modal ini dinilai tidak menggunakan pertimbangan lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.
Diharapkan agar perbankan perlu menerapkan skema yang lebih manusiawi bagi kalangan nelayan di berbagai daerah, termasuk meningkatkan kerja sama dengan kelompok koperasi nelayan.
Dengan bekerja sama dengan koperasi nelayan, juga diharapkan aspirasi dari berbagai kelompok nelayan juga dapat lebih terserap dibandingkan dengan hanya per individu nelayan.
Selain itu, pemerintah juga dinilai merupakan faktor yang penting dalam menentukan skema tersebut, jadi tidak hanya berperan mempertemukan perbankan dengan nelayan.
Dengan sinergi yang baik antara pemerintah selaku pembuat kebijakan, perbankan sebagai penyalur modal, dan nelayan sebagai pelaku usaha, maka diharapkan pemangku kepentingan sektor perikanan nasional juga bisa terangkat harkat kesejahteraannya.
Baca juga: Menteri Susi ingin nelayan dimudahkan akses pemasaran
Baca juga: Pemerintah bantu nelayan Makassar 1.357 "converter kit"
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019