Oleh Arnaz Firman*
Masyarakat Indonesia menerima kepastian bahwa tidak kurang 49 mantan terpidana korupsi bisa tetap maju dalam pemilihan umum legislatif pada 17 April 2019.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman telah mengumumkan bahwa 49 orang itu terdiri atas sembilan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dan sisanya calon DPRD provinsi, kota, serta kabupaten.
Yang hebatnya lagi, tidak ada satu pun calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Munculnya pengumuman KPU ini kembali mengungkapkan berbagai pikiran atau wacana di kalangan akademisi, politikus, tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM), apakah para mantan koruptor ini masih layak untuk dijadikan wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat, baik tingkat pusat (Jakarta) maupun daerah.
Mereka pernah dikenakan hukuman penjara lima tahun atau lebih sehingga pasti pernah merasakan menginap bertahun-tahun di "hotel prodeo".
Akan tetapi, karena keputusan KPU Republik Indonesia telah diambil maka harus dihormati sehingga tetap dilaksanakan.
Oleh karena pemilu legislatif dan juga pemilihan presiden tinggal sekitar 2,5 bulan lagi maka yang menjadi pertanyaan bagi sekitar 262 juta warga negara Indonesia, terutama 192,8 juta calon pemilih, apakah para mantan koruptor itu memang layak dicoblos gambarnya di tempat pemungutan suara ataukah "haram" dipilih.
Bisa diperkirakan alasan KPU mengambil keputusan untuk mereka bisa maju dalam pemilu. Mereka adalah orang-orang yang pernah "makan" uang rakyat selama menjadi pejabat dan sudah menjalani hingga akhir masa dipenjara akibat perkara itu.
Mereka sekarang sudah menjadi warga negara biasa seperti halnya lainnya, sehingga berhak dicalonkan atau mencalonkan diri dalam pemilu.
Hal yang menjadi pertanyaan, apakah persoalan ini sedemkian sederhananya sehingga hak politiknya bisa dikembalikan dengan begitu saja?
Memang kalau dilihat dari aspek hukum, 49 mantan koruptor ini sudah kembali ke tengah-tengah masyarakat setelah selesai menjalani hukuman. Oleh karena itu, mereka dengan perkara hukumnya sudah bisa dikatakan "tutup buku".
Namun, sekali pun sudah kembali menjadi warga negara yang normal, apakah benar-benar sudah selesai urusan dengan masyarakat?
Bisa masyarakat mengambil contoh bahwa ada satu orang di antara 49 orang itu pernah menjadi gubernur atau bahkan menjadi anggota DPR RI. Maka, bisa dibayangkan "betapa dosanya" mereka terhadap rakyat di daerah pemilihannya.
Uang rakyat yang pernah "ditelannya" apakah sudah dikembalikan secara utuh?. Betapa banyak warganya yang secara langsung maupun tidak langsung telah menderita karena uang rakyat itu telah "dimakannya".
Sebanyak 49 mantan terpidana korupsi itu, apakah pernah mengaku di depan rakyatnya di daerah-daerah bersangkutan bahwa mereka telah berbuat amat jahat, melakukan tindak pidana korupsi, yang pasti dikutuk oleh semua agama, kelompok swadaya masyarakat, atau siapa pun juga.
Kalau misalnya mereka nanti terpilih menjadi anggota DPD, DPR RI ataupun DPRD provinsi, kota, serta kabupaten, apakah mereka sanggup mengikrarkan janji atau sumpah bahwa tidak akan berbuat korupsi lagi?
Sekarang, di pemerintahan dikenal aturan yang diberi nama "pakta integritas". Sekali pun sudah ada "pakta integritas" ternyata tetap saja muncul gubernur, wali kota, hingga bupati yang ditangkap para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena ditemukan bukti-bukti tentang terjadinya tindak kejahatan.
Beberapa hari lalu Kepolisian Resor Deli Serdang di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara menemukan seorang calon anggota legislatif yang diduga keras terlibat kasus pencurian kendaraan bermotor.
Contoh konkret ini menunjukkan bahwa ada calon, sekali pun belum menjadi mantan terpidana, sudah ditangkap aparat hukum karena ada bukti-bukti kejahatannya.
Jika, kembali ke mantan terpidana korupsi yang 49 orang itu maka kepada mereka bisa dipertanyakan apakah setelah bebas dari penjara sudah pernah berbakti secara nyata kepada orang-orang yang pernah dirugikannya.
Misalnya saja, apakah mantan koruptor itu pernah melakukan bedah rumah milik orang-orang miskin di sekitarnya atau menyumbang anak yatim piatu, kaum duafa, korban gempa bumi, tsunami serta yang terkena letusan gunung berapi. Mereka pasti membutuhkan atau menanti-nanti sumbangan konkret dari orang-orang yang ikhlas.
Para mantan terpidana korupsi ini jangan pura-pura telah bertobat dan kini "berbaik-baik" kepada rakyat di daerah pemilihannya agar pada 17 April 2019, warga mencoblos gambarnya di surat suara.
Jangan pernah lupakan bahwa 192,8 juta calon pemilih itu telah menjadi orang-orang yang pintar atau bahkan lebih pandai dibandingkan dengan saat Pemilu 2014 yang saat itu mungkin dapat dibohongi atau diperdayakan dengan "1001 tipuan gombal".
Sebanyak 49 mantan terpidana korupsi tersebut dan juga calon-calon legislator lainnya, tanpa kecuali, harus benar-benar bisa membuktikan bahwa mereka telah siap sepenuh hati menjadi wakil rakyat yang 24 jam berdarma bakti kepada rakyat yang diwakilinya, dan tak akan korupsi.
Berjanjilah bakal wakil rakyat dan berikrar kepada Sang Maha Kuasa bahwa mereka akan tetap berada di jalur yang benar, tanpa mengarah menjadi koruptor ataupun pelaku kejahatan apapun juga.
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018. Pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009
Baca juga: DPR persilahkan KPU umumkan caleg mantan napi koruptor
Baca juga: Ray Rangkuti: Langkah KPU umumkan caleg mantan koruptor bukan pencitraan
Baca juga: KPU memvalidasi nama-nama caleg mantan napi korupsi
Pewarta: Arief Mujayatno
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019