"Saya hanya berpuasa 12 hari, karena hampir setiap hari majikan berlaku kasar dan sering menyiksa. Saya tak kuat lagi," keluh Imas Kurniati binti Syamsuri (25), ketika ditemui ANTARA News di ruang tunggu terminal III Khusus Kedatangan TKI di Bandara Internasional Soekanrno-Hatta, Tangerang. Imas baru saja mendarat di bandara terbesar di Indonesia itu, setelah terbang selama lebih dari delapan jam dari Negeri Padang Pasir, Arab Saudi. Di negeri "petrodolar" itu, Imas Kurniati, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kampung Sindang Barang RT 01/01 Desa Saranganten, Cianjur, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun sayang, pekerjaan itu dilakoninya selama dua bulan saja. Semula ia berangan-angan, setelah bekerja di Arab Saudi, nasibnya akan berubah. Tetapi cita-citanya membawa "riyal" ke kampung halamannya kandas, karena ia lebih memilih pulang ke Tanah Air, sebelum masa kontraknya habis. Imas sebenarnya sudah berusaha bertahan agar dapat terus bekerja setidaknya hingga masa kontraknya habis. Apalagi jika teringat nasib putra semata wayang dan suami tercinta, M Taufik. Namun perlakukan kasar majikannya membuat ia tak kuat lagi dan memilih kabur dari negeri gurun itu. Menurut dia, perlakuan kasar telah ia terima pada hari pertama menginjakan kaki di rumah majikannya di Anla, kawasan gurun terpencil sekitar empat jam perjalanan menggunakan kendaraan pribadi dari Madinah. Kian hari siksaan dari majikannya tidak semakin surut, bahkan malah menjadi-jadi. Majikan laki-lakinya sering sekali meludahi badan, tangan, dan kadang muka, bila berpapasan di seputar rumah tanpa sebab yang jelas. Ia juga selalu membentak. "Hampir tiap hari saya selalu dibentak. Saking seringnya sampai-sampai sudah saya anggap sebagai sarapan pagi," ujarnya. Bukan itu saja wanita berbobot 43 kg dan tinggi 150 cm itu, juga sering menerima kekerasan fisik. "Telapak tangan saya merah-merah karena sering dipukul. Bahkan sampai sekarang jempol tangan kiri saya masih biru dan sulit untuk digerakkan," katanya. Menurut Imas, majikannya sering sekali memelintir jempolnya jika sedang emosi. Padahal tak satupun kesalahan dilakukannya. Tak hanya tangan, (maaf) pantat Imas juga menjadi sasaran. Pantatnya bengkak-bengkak karena sering dipukul majikan dari belakang. Ia mengaku sulit untuk menghindar, karena tanpa terlihat tiba-tiba majikannya memukulnya. Saat ini kepala Imas juga masih benjol-benjol, karena selalu dijitak majikan. Puasa dan Gembala Kambing Saat Ramadan tiba, Imas berharap siksaan akan mereda, karena katanya orang-orang Arab akan menjadi lebih saleh dan banyak berderma pada bulan suci ini. Namun, harapan Imas Kurniati tak terwujud, deritanya tak kunjung usai meski pekan pertama Ramadan telah dilaluinya. Selama di Anla, Imas Kurniati juga diperintahkan majikan untuk mengembala 30 ekor kambing, padahal pekerjaan tersebut biasanya hanya dilakoni pembantu laki-laki. Percakapan terhenti sejenak. Tiba-tiba Imas meneteskan air mata dan berpelukan dengan rekannya sesama TKI, Nenah Supratno (43) yang juga mengalami nasib serupa. Selain menggembala, Imas juga harus membersihkan rumah. Setiap hari ibu satu putra itu harus menjalani tugas itu, termasuk saat berpuasa. Hal yang tidak pernah dilakukannya ketika masih berada di Cianjur. Jika "hanya" itu, sebenarnya Imas mungkin masih bisa menguatkan diri. Tapi pekerjaan berat itu, masih harus ditambah dengan perlakukan kasar majikan, yang setiap hari harus diterimanya. "Itu yang membuat saya terpaksa melarikan diri," ujarnya. Ketika sebuah taksi yang dikemudikan warga setempat melintas, tanpa pikir panjang Imas Kurniati berteriak meminta tolong. Sopir taksi itu kemudian mengantarnya ke Riyadh. Imas Kurniati memang tidak melapor kepada polisi setempat atau ke kantor perwakilan Indonesia di Arab Saudi. Ia tidak mau menjadi repot, karena biasanya jika melapor akan tertahan dan berurusan dengan banyak pihak. Untuk sementara ia lebih memilih diam dan pulang ke Indonesia. Dengan uang yang masih tersisa, Imas Kurniati menghubungi agen perjalanan. Ia sangat bersyukur masih bisa mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dengan selamat, meski tak membawa banyak "riyal" di kopornya. Imas mengaku kapok pergi ke Arab Saudi dan mengubur mimpinya untuk mendulang riyal dari negeri minyak itu. "Saya mesti berpikir berjuta kali untuk kembali lagi ke Arab Saudi," ujarnya. Kasus Lain Nasib hampir sama juga dialami Nenah Supratno (43) warga Kelurahan Sukamulya RT 06/03 Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan. Perlakukan kasar majikan laki-laki membuat dia harus pulang ke Indonesia walau kontrak kerja belum berakhir. "Kalau hanya membentak dan marah-marah, itu saya anggap biasa. Tapi kadang memukul badan, hal ini yang membuat saya tidak kuat lagi bekerja pada majikan saya," kata Nenah. Nenah menyebut majikannya dengan inisial Aslk. Rumah Aslk berada di kawasan Seregia, Kota Daman, Arab Saudi. Oleh Aslk, Nenah setiap hari harus membersihkan semua peralatan, termasuk mobil. "Selain mencuci mobil, setiap hari saya harus membersihkan rumah dua lantai, kemudian menyapu langit-langit, memasak, dan mencuci pakaian," kata janda beranak satu itu. Nenah masih bisa menerima pekerjaan yang sebenarnya telah melampaui batas itu. Iapun tetap tekun, menjalani itu semua, termasuk pada saat berpuasa. Namun, karena majikan terus-menerus bertindak kasar kepadanya, maka ia hengkang dan pulang ke Indonesia. Bekerja di Arab Saudi bagi Nenah, sebenarnya bukan yang pertama kalinya. Ia sudah tujuh tahun mendulang riyal di negara Timur Tengah. Ia telah berganti dua majikan, namun keduanya memperlakukan secara baik bahkan kadang memberikan bonus. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNPTKI), M. Jumhur Hidayat prihatin terhadap perlakukan majikan di Arab Saudi yang tidak manusiawi itu. "Kita sering menghimbau kepada TKI, ketika berada di negara penempatan supaya menyesuaikan diri dengan majikan. Bila ada perlakuan kasar sebaiknya diingatkan dan bila perlu dilaporkan kepada pengerah yang memberangkatkan atau bila perlu lapor polisi setempat agar tidak berlarut," katanya. Di tempat terpisah, duta buruh migran Indonesia, Franky Sahilatua, prihatin dengan nasib para TKI yang mencari kerja di luar negeri karena sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh majikan mereka. Belakangan ini, nasib TKI kita diluar negeri sangat memprihatinkan, mereka sering diperlakukan kasar diluar batas kemanusian. "Bahkan kadang dipersamakan dengan budak yang tidak ada nilainya," ujar Franky yang bersama pedangdut Nini Karlina, dipilih sebagai duta buruh migran Oganisasi Buruh Dunia (ILO). Menurut penyanyi balada itu, buruh migran yang bekerja di Timur Tengah dan Malaysia, sering diperlakukan sebagai orang tak berguna oleh majikannya. "Ini harus dihentikan karena TKI, pembantu rumah tangga, juga manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dan dihargai kinerjanya," ujarnya. Memang TKI tidak selamanya mendapat perlakukan buruk. Banyak juga yang mendapatkan perlakuan baik dari majikan, di antaranya Wiwin binti Dahri (35) asal Desa Babakan Manjeti RT 03/03 Kecamatan Sukajadi, Majalengka. "Alhamdulillah, majikan laki-laki, perempuan dan anak-anaknya bersikap baik. Mereka memperlakukan saya seperti keluarga mereka sendiri," katanya. Menjelang Idul Fitri Terminal III Bandara Soekarno-Hatta memang semakin ramai. Para "pahlawan devisa" Indonesia, berbondong-bondong mudik ke kampung halaman di Tanah Air. Banyak yang sedih, namun tak jarang pula yang bergembira. "Hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di kampung sendiri," kata Kurniati mengakhiri percakapan karena sopir bus angkutan sudah menunggu untuk berangkat ke Cianjur.(*)

Oleh Oleh Adityawarman
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007