Jakarta (ANTARA News) - Ancaman kejahatan narkotika dan obat - obatan terlarang (narkoba) di Indonesia merupakan bentuk kejahatan yang bersifat laten, dinamis, dan berdimensi transnasional sehingga menjadi tantangan bagi Bangsa Indonesia ke depan.

Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang melanda dunia juga berimbas ke Tanah Air. Narkoba sudah merambah ke seluruh wilayah Tanah Air dan menyasar ke berbagai lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali.

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengancam dunia dan bisa digunakan sebagai salah satu senjata dalam proxy war untuk melumpuhkan kekuatan bangsa.

Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia dalam situasi darurat narkoba dan menyatakan perang terhadap narkoba. Setiap harinya ada sekitar 40 sampai 50 orang tewas di Indonesia karena penyalahgunaan narkoba dan sekitar 15 ribu tewas pertahun.

Ancaman penyalahgunaan narkoba menurut Afiatin, T pada bukunya "Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dalam Program AJI".
menyatakan dampak narkoba bersifat multi dimensional meliputi, kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, keamanan dan penegakan hukum.

Di lihat dari dimensi kesehatan, penyalahgunaan narkoba dapat menghancurkan dan merusak kesehatan manusia, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani.

Pada dimensi ekonomi untuk kasus narkoba memerlukan biaya besar. Kemudian dari dimensi sosial dan pendidikan dapat menyebabkan perubahan ke arah perilaku asusila dan anti sosial.

Sedangkan dari dimensi keamanan dan penegakan hukum dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan yang mengganggu masyarakat dan pelanggaran hukum lainnya.

BNN sebagai Executing Agency penangganan permasalahan narkoba sepanjang tahun 2018 telah mengungkap 914 kasus narkotika dan prekursor narkotika yang melibatkan 1.355 tersangka.

"Dan mengungkap sebanyak 53 kasus TPPU (tindak pidana pencucian uang) yang melibatkan 70 tersangka dengan total aset Rp229 miliar," kata Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Polisi Heru Winarko pada konferensi pers di Gedung BNN, Cawang, Jakarta Timur, Kamis.

Menurut dia, jumlah barang bukti yang disita sepanjang tahun 2018 oleh BNN di antaranya untuk sabu-sabu sebanyak 3,4 ton, ganja sebanyak 1,39 ton, ekstasi berbentuk tablet 469.619 butir dan ekstasi serbuk 1,88 kilogram.

Dari seluruh kasus yang diungkap, BNN mengidentifikasi di tahun 2018 ada 83 jaringan sindikat narkoba. Sedangkan pada tahun 2017 sebanyak 99 jaringan.

Kemudian sepanjang Januari 2019 jumlah kasus yang ditangani BNN ada 19 kasus baik di tanggani pusat maupun daerah dengan jumlah tersangka 32 orang.

Dari kasus selama bulan Januari, banyak terungkap kasus narkoba jaringan internasional yang dikendalikan dari narapidana yang masih mendekam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) seperti Lapas Tanjung Gusta, Medan Rutan Kebon Waru, Bandung dan Lapas Tarakan. Barang bukti narkoba yang kebanyakan jenis sabu dan ekstasi tersebut diseludupkan dari Malaysia dan Thailand.

Pengawasan di lapas lemah

Kasus narkoba yang dikendalikan oleh napi di rutan dan lapas yang ditanggani BNN diantaranya, mengerebek tempat pembuatan ekstasi yang dikendalikan oleh Acun seorang narapidana di Lapas Tanjung Gusta, Kamis (24/1).

Dijelaskannya BNN bahwa menerima info dari masyarakat bahwa salah satu tersangka yang dicari BNN terkait clandestine narkoba di Marelan atas nama Robert yang berhasil melarikan diri.

Kemudian tersangka Ramli yang juga narapidana di Lapas Tanjung Gusta yang mengendalikan penyelundupan narkoba dengan barang bukti 73,949 kilogram dan 10.000 butir ekstasi. Sedangkan kasus terakhir adalah tersangka Suparman yang ditahan di Rutan Kebon Waru, Bandung, dimana BNN berhasil mengamankan 1,5 ton ganja di Bogor yang dikendalikannya.

Menurut keterangan Deputi Pemberantasan BNN, Irjen Pol Arman Depari mengatakan peredaran narkoba di Indonesia masih dikendalikan oleh tersangka yang berstatus narapidana yang ada dalam tahanan. Pihaknya hanya mengawasi peredaran narkoba dari luar lapas dan rutan.

"Seperti yang dijelaskan tadi dengan maraknya peredaran narkoba dan juga dan penyelundupan narkoba oleh narapidana dari dalam lapas, maka boleh kita simpulkan bahwa pengawasannya lemah atau barangkali juga pengawasannya terabaikan," kata Arman.

Dijelaskannya BNN rencana akan memanggil petugas di lapas dan rutan untuk dilakukan pemeriksaan dan mengklarifikasi. Hal tersebut tentunya berdasarkan keterangan saksi serta bukti - bukti yang didapatkan. Para narapidana pada umumnya tutup mulut terkait keterangan apakah memiliki kerja sama dengan para petugas lapas dan rutan.

Arman tegaskan bahwa penyidik tidak perlu mengejar pengakuan dari oknum lapas atau rutan yang nantinya diduga terlibat, tapi dari hasil pemeriksaan dan saksi serta barang bukti yang ditemukan dapat mengarah ke oknum tertentu di rutan dan lapas.

Mengenai kerja sama dengan pihak lapas dan rutan terkait pengungkapan kasus narkoba di lingkungan tersebut, Deputi Pemberantasan mengatakan hampir tiap hari tapi hasilnya "omong doang".

"Kita melakukan operasi ini berbulan - bulan bukan satu hal yang mudah di laut bermalam, berminggu - minggu, berbulan - bulan itu risikonya adalah keselamatan anggota kita, kalau sudah ditangkap dan dikurung mestinya jangan lagi bisa mereka (narapidana) mengendalikan," kata Arman.

Namun bila narapidana masih bisa mengendalikan narkoba dari dalam lapas dan rutan, Arman katakan itu sama halnya pihak lapas dan rutan tidak menghargai apa yang dilakukan baik oleh BNN, TNI AL dan Bea Cukai.

"Percuma kalau tiap hari mereka tetap bisa mengendalikan, maka petinggi lapas dan rutan perlu dievalusi kalau perlu direposisi," katanya.

Zat baru menghindari hukuman

BNN berhasil mengungkap dua jenis new physcoactive substances (NPS) atau narkoba jenis baru dengan wujud pil mirip ekstasi mempunyai efek lima kali lebih kuat dari pil ekstasi yang beredar pada umumnya.

"Kami menemukan narkoba jenis baru saat operasi di Aceh dan Medan dari jenis ekstasi yang efeknya lima kali dari ekstasi pada umumnya dipakai pengguna," kata Arman.

Pada ekstasi yang biasa ditemukan di Indonesia berbahan dasar Metilendioksi Metamfetamina (MDMA) atau Metilendioksiamfetamin (MDA). Namun ditemukan berbeda dengan yang biasa karena mengandung Methamphetamine (PMMA), katanya

Selain itu, petugas juga menemukan 300 butir narkoba yang belum masuk Undang-Undang Kesehatan. Narkoba tersebut berbahan dasar sintetik katinon dicampur cafein dan metilon. Di Indonesia baru ada dua kasus yang mengungkap narkoba dengan bahan baku tadi. Satu kasus yang sudah ada dari almarhum Freddy Budiman dengan barang bukti 1,5 juta butir ekstasi.

Bahan dasar yang diamankan dari seorang tersangka berinisial MZ berhasil diamankan pada penangkapan periode Desember 2018 lalu. Barang bukti seperangkat prekusor menjadi alat bukti. Sebagian barang bukti yang ditemukan masih berbentuk serbuk dan tengah menunggu proses pencetakan. Bahan baku yang digunakan didatangkan dari India dan Tiongkok.

"Ini salah satu perkemabangan teknologi dan kefarmasian adanya penemuan zat- zat baru dan mereka selalu berupaya agar terhindar dari jerat hukum," kata Arman.

Saat ini MDMA atau MDA sudah masuk dalam undang-undang kesehatan di Indonesia, maka para bandar desain zat yanga belum masuk dalam undang - undang. Bila dilempar narkoba jenis baru itu laku di pasaran, maka akan diproduksi massal.

"Jadi itu memang desain ekstasi dan obat - obat semacam ini disebut juga 'drug design'. Didesain dan lempar ke masyarakat untuk menghadapi hukum yangg berlaku. Saat ini ada 800 jenis NPS di dunia , yang sudah masuk Indonesia 65 jenis," kata Arman.

Baca juga: BNN ungkap ekstasi jenis baru
Baca juga: BNN Amankan Lima Tersangka Jaringan Rutan Kebon Waru

Pewarta: Susylo Asmalyah
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019