Jakarta (ANTARA News) - Meski tipis, namun Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami perbaikan dengan naik kelas dari peringkat 37 pada 2017 ke 38 tahun 2018.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengumumkan pencapaian peringkat itu dalam presentasi Corruption Perceptions Index (CPI) 2018 di gedung KPK Jakarta, Selasa (29/1). Paparan itu menunjukkan bahwa peringkat atau posisi Indonesia naik satu poin dari 37 ke 38.

IPK Indonesia tahun 2018 berada di skor 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Angka ini meningkat 1 poin dari 2017 dan dibanding tahun 2016 berada pada peringkat 36.

IPK 2018 mengacu pada sembilan survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Indonesia punya skor yang sama dengan Bosnia Herzegovina, Sri Lanka dan Swaziland.

Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat ke-4, di bawah Singapura (skor 85), Brunei Darusallam (skor 63) dan Malaysia (skor 47). Untuk negara ASEAN yang peringkat dan skornya di bawah Indonesia adalah Filipina (36), Thailand (36), Timor Leste (35), Vietnam (33), Laos (29), Myanmar (29) dan di peringkat buncit adalah Kamboja (20).

Bila dilihat dari sumber data, rendahnya IPK Indonesia lagi-lagi berasal dari "IMD World Competitiveness Yearbook" (turun dari 41 poin pada 2017 ke 38 poin pada 2018) dan Varieties of Democracy Project (turun dari 30 poin pada 2017 ke 28 poin pada 2018).

IMD World Competitiveness Yearbook memuat komponen faktor-faktor kompetitif untuk melakukan bisnis di suatu negara mencakup kinerja perekonomian, efisiensi, efisiensi bisnis dan infrastruktur. Sedangkan Varieties Democracy Project mencakup tujuh prinsip demokrasi di suatu negara.

Sementara penilaian yang mengalami peningkatan adalah Global Insight Country Risk Ratings (dari 35 poin pada 2017 ke 47 poin pada transkrip 47) dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 poin pada 2017 ke 33 poin pada 2018).

Satu hal lain yang disoroti adalah World Justice Project-Rule of Law Index yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum tetap rendah, yaitu pada 20 poin atau stagnan seperti pada 2017.

Karena itu, menurut TII, penting diperhatikan bahwa proses kemudahan berusaha, perizinan dan investasi menjadi daya ungkit besar untuk naikkan IPK. Sedangkan IMD World Competitiveness Yearbook terkait relasi pebisnis dan politisi termasuk juga World Justice Project adalah terkait korupsi politik yang menjadi penghalang kenaikan IPK.

Sejak tahun 1995, Transparansi Internasional telah menerbitkan IPK setiap tahun yang mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis.

Nilai dari indeks ini sedang diperdebatkan karena berdasarkan survei, hasilnya tidak bisa dihindarkan dari bersifat subjektif. Hal itu karena korupsi selalu bersifat tersembunyi, maka mustahil untuk mengukur secara langsung sehingga digunakan berbagai parameter untuk mengukur tingkat korupsi.

Contohnya adalah dengan mengambil sampel survei persepsi publik melalui berbagai pertanyaan. Mulai dari "Apakah Anda percaya pada pemerintah?" atau "Apakah korupsi masalah besar di negara Anda?".

Selain itu, apa yang didefinisikan atau dianggap sah sebagai korupsi berbeda-beda di berbagai wilayah hukum: Sumbangan politis sah di satu wilayah hukum mungkin tidak sah di wilayah lain; sesuatu yang dianggap sebagai pemberian tip biasa di satu negara bisa dianggap sebagai penyogokan di negara lain.

Dengan demikian, menurut Wikipedia, hasil survei harus dimengerti secara khusus sebagai pengukuran persepsi (anggapan) publik, bukannya satu ukuran yang objektif terhadap korupsi.

Penegak Hukum

Salah satu yang sering mengganjal penilaian IPK ada pada persepsi publik terhadap penegakan hukum. Hal itu karena persepsi korupsi terkait dengan penegakan hukum dan aparat hukum.

Ini pun diakui oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2018 Indonesia, masyarakat kurang percaya terhadap aparat penegak hukum.

Salah satu unsur penilaian di IPK adalah World Justice Project yang semula diharapkan naik dari skor 20 pada 2017, tapi tahun 2018 ternyata tetap 20. Berarti tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum hanya 20 dari 100 orang.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, "World Justice Project" mengukur ketaatan suatu negara dalam penegakan hukum (rule of law) dan penyalahgunaan kewenangan publik pada eksekutif, yudisial, polisi/militer dan legislatif.

Hal ini terkait apakah ada yang dibuat pemerintah untuk menegakkan kesejahteraan atau perbaikan sistem di lembaga pengadilan. Untuk lembaga pengadilan remunerasi sudah 100 persen sehingga hakim baru bisa menerima Rp9 juta-Rp10 juta per bulan tapi Kepolisian dan Kejaksaan belum penuh remunerasinya.

Dengan demikian, selain memperibaki sistem rekrutmen, sarana-prasarana yang mencukupi maka gaji perlu juga diperhatikan karena pangkat kapten di Polri dan kapten di KPK gajinya beda. Tetapi bukan itu satu-satunya cara bebas korupsi, namun lebih pada penggajian yang rasional.

Pekerjaan pemerintah untuk meningkatkan IPK adalah juga terkait dengan PERC, yaitu persepsi korupsi sektor publik yang meliputi pimpinan politik nasional dan lokal, PNS pusat dan daerah, persepsi korupsi pada instansi tertentu, yaitu Kepolisian, Pengadilan, Bea Cukai, pajak, perizinan, pengawasan dan militer.

Memang hal ini agak berat untuk diperbaiki sehingga pemimpin 2020-2025 nanti harusnya fokus pada peningkatan unsur-unsur yang nilainya masih rendah ini, ungkap Laode.

Rendahnya IPK Indonesia lagi-lagi berasal dari IMD World Competitiveness Yearbook (turun dari 41 poin pada 2017 ke 38 poin pada 2018). Juga Varieties of Democracy Project (turun dari 30 poin pada 2017 ke 28 poin pada 2018).

IMD World Competitiveness Yearbook memuat kompenen faktor-faktor kompetitif untuk melakukan bisnis di suatu negara yang mencakup kinerja perekonomian, efisiensi, efisiensi bisnis dan infrastruktur. Sedangkan Varieties Democracy Project mencakup tujuh prinsip demokrasi di suatu negara.

Sedangkan penilaian yang mengalami peningkatan adalah Global Insight Country Risk Ratings (dari 35 poin pada 2017 ke 47 poin pada transkrip 47) dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 poin pada 2017 ke 33 poin pada 2018).

Satu hal lain yang disoroti adalah "World Justice Project-Rule of Law Index" yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum tetap rendah, yaitu pada 20 poin atau stagnan seperti pada 2017.

Meski ada bagian-bagian yang cenderung membaik, tetapi KPK mengakui juga belum bekerja maksimal dengan aparat penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan Agung.

KPK bekerja tapi belum maksimal dan kerja sama dengan Kepolisian terbatas pelatihan bersama, koordinasi dan supervisi. Tetapi, untuk membuat sistem ke depan belum dikerjakan.

KPK juga bekerjasama dengan Badan Pengawas Mahkamah Agung termasuk BPKP melakukan tata kelola di masing-masing pengadilan. Sedangkan dengan Kejaksaan Agung masih sebatas pelatihan bersama.

Respons

Pemerintah pun merespons capaian CPI atau IPK Indonesia yang naik tipis satu poin 919 37 pada 2017 menjadi 38 pada 2018 dan berada pada peringkat 89 dari 180 negara.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengemukakan, sekarang yang terpenting adalah menindaklanjuti hasil ini dan pemerintah tahu di mana area perbaikannya. Sebenarnya sebagian dari area perbaikan sudah dilakukan tetapi itu belum maksimal.

Karena itu, pihaknya juga akan berkomunikasi dengan Transparency International kira-kira ada tidak sesuatu yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sehingga bisa melakukan lompatan dalam perbaikan CPI . Dengan demikian, diharapkan ke depan Indonesia mendapatkan peringkat yang jauh lebih baik dalam CPI tersebut.

Pemerintah tentu bertekad ingin agar peringkat jauh lebih baik dan mungkin perbaikan sekarang terlalu pipih sehingga belum sesuai harapan. Karena itu, memang banyak sekali PR yang akan ditindaklanjuti oleh tim Stranas (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi).

Yang pasti, permasalahan korupsi itu harus di atasi dari akarnya. Intinya harus mengatasi permasalahan korupsi ini dari akarnya dari sistemnya.

Salah satunya kalau dilihat kejadian korupsi di masa lalu lebih banyak karena adanya negosiasi, adanya tatap muka dan adanya perjanjian khusus di antara para pihak yang kemudian berujung pada perilaku korupsi.

Karena itu, saat ini sudah mulai diterapkan pelayanan berbasis elektronik seperti pengadaan ataupun perizinan. Hal itu untuk memudahkan para investor sehingga menarik minat mereka untuk investasi di Indonesia.

Yang paling penting adalah perilaku koruptif di antara yang punya kewenangan untuk memberikan perizinan dan sekaligus juga memberikan kepastian kepada para investor. Ujung dari semua tekad itu adalah memperbaiki country risk.

Jika tekad dan kemauan itu bisa terlaksana maksimal, maka capaian IPK Indonesia yang diumumkan pada Januari 2020 diyakini akan naik kelas lagi.*


Baca juga: Menteri Bappenas: Akar korupsi adalah sistem yang sulit

Baca juga: Pemerintah respons soal Indeks Persepsi Korupsi Indonesia naik tipis

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019