Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengungkapkan, pemecatannya sebagai kader PKS merupakan kasus rekayasa yang dilakukan petinggi partai politik itu. "Pemecatan saya itu, sebagai sebuah kasus rekayasa yang dibuat oleh lima pimpinan PKS tergugat," kata dia, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.
Ia membeberkan, saat proses pemecatannya, ada pimpinan PKS yang bertemu dengan presiden terpilih saat itu yaitu Joko Widodo (Jokowi). Bahkan menurut dia, ada pertemuan intensif antara pimpinan PKS dengan presiden terpilih saat itu.
"Ada satu artikel, pimpinan PKS bertemu Jokowi, Presiden PKS mengaku tidak izin ke KMP (Koalisi Merah Putih). Jadi ada dugaan tekanan kepada saya itu berkaitan dengan keinginan pimpinan PKS masuk ke pemerintahan," ujarnya.
Menurut dia, kepengurusan yang baru tersebut membuat keputusan yang bukan keputusan organisasi sehingga murni penyalahgunaan jabatan dalam partai karena seolah-olah keputusan partai kemauannya sendiri.
Ia menilai ketua Majelis Syuro PKS seharusnya dihukum karena membuat keputusan tanpa rapat partai namun sesuai keinginannya. "Ini dugaan saya, ada pengurus baru dia tidak tahu cara nego dengan pemerintahan baru. Karena itu sejak awal saya kecewa karena mereka tidak terlalu komit dengan Koalisi Merah Putih," katanya.
Karena itu, menurut dia, agar keinginan pimpinan PKS dapat diakomodir, lalu dibersihkan orang-orang yang dulu diangap punya sikap berbeda dengan pemerintah termasuk dirinya terutama dirinya menjabat sebagai sekretaris harian KMP.
Ia mengatakan Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Al Jufri, pernah bertemu dirinya dan memberikan alasan mendekat ke pemerintah. "Mereka menganggap saya sebagai orang yang selalu kritis kepada pemerintahan. Namun di sisi lain, hal itu berpotensi membahayakan partai," kata Fahri mengutip perkataan Salim Segaf.
Namun, secara tegas Hamzah mengatakan, pimpinan PKS bisa saja semena-mena memecat dia dari partai, tetapi tidak bisa memecat dari jabatan di DPR RI, mengingat jabatan wakil ketua DPR ini merupakan ranah publik yang tak bisa diintervensi partai.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019