tekanan ekonomi global akibat praktek proteksionisme harus dijadikan Indonesia sebagai momentum untuk mengukur kembali kekuatan perdagangan nasional
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dinilai perlu meninggalkan perdagangan yang mengandalkan komoditas bahan mentah dalam rangka menambah nilai ekspor sehingga mampu menyehatkan neraca perdagangan nasional.
"Kami mendesak agar agenda diplomasi perdagangan Indonesia yang berbasis komoditas bahan mentah harus segera dibatasi atau bahkan ditinggalkan dan memperkuat dengan kinerja perdagangan yang bernilai tambah," kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, Jumat.
Menurut dia, tekanan ekonomi global akibat praktek proteksionisme harus dijadikan Indonesia sebagai momentum untuk mengukur kembali kekuatan perdagangan nasional.
Berdasarkan data IGJ, hingga saat ini kontribusi komoditas ekstraktif pada perdagangan Indonesia masih didominasi oleh batubara dan sawit yang masing-masing adalah 15,12 persen dan 12,51 persen.
Kemudian, lanjutnya, disusul sektor besi-baja dan logam masing-masing 3,54 persen dan 3,23 persen dari total ekspor.
"Di tengah tantangan global hari ini, Indonesia akan kesulitan meningkatkan ekspornya dengan bergantung pada komoditas ekstraktif," ucapnya.
Ia berpendapat bahwa ketergantungan perdagangan pada komoditas ekstraktif telah berdampak terhadap tingginya penggunaan produk impor dan memperkuat proses deindustrialisasi di Indonesia.
Hal tersebut terbukti, menurut Rachmi, dengan pelemahan rupiah pada tahun 2018 yang dinilai tidak mampu digunakan Indonesia untuk meningkatkan ekspor, tetapi justru semakin membuat ekonomi nasional terpuruk akibat meningkatnya impor yang mempengaruhi defisit transaksi berjalan yang terjadi di sepanjang kuartal II dan III 2018.
Selain itu, IGJ berpandangan akibat dari pemusatan kinerja perdagangan Indonesia pada komoditas mentah, khususnya sawit dan batubara, juga berdampak terhadap memburuknya praktek monopoli di sektor ini dan semakin mengakumulasi kerugian yang diderita oleh masyarakat yaitu, pelanggaran pajak dan pelanggaran HAM, seperti dalam konteks kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan konflik lahan.
"Saatnya melakukan substitusi impor dan memperkuat produk lokal dalam seluruh kegiatan perekonomian nasional. Sehingga satu-satunya strategi yang tepat adalah dengan industrialisasi," tegas Rachmi.
Sebelumnya, Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro mengingatkan pentingnya pengembangan industri pengolahan yang bernilai tambah agar kinerja ekspor Indonesia tidak lagi sepenuhnya bergantung kepada komoditas.
"Perlu ada 'review' kebijakan secara lebih komprehensif untuk mengembangkan industri ekspor 'value-added' dalam negeri," kata Satria Sambijantoro.
Satria menjelaskan upaya untuk mengurangi ekspor komoditas yang porsinya mencapai hampir 30 persen dari total ekspor Indonesia sangat penting, agar ekspor tidak lagi rentan terhadap perlambatan ekonomi yang terjadi di negara mitra dagang utama seperti China.
"Struktur ekspor yang bergantung pada komoditas membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap perlambatan global, terutama di China yang mengonsumsi banyak ekspor komoditas kita seperti batubara dan bahan tambang," katanya.
Baca juga: Archandra katakan petrokimia topang masa depan industri ekstraktif
Baca juga: Walhi desak pemerintah moratorium izin lepas hutan-industri ekstraktif
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019