Jakarta (ANTARA News) - Pada 2018, sekitar satu dari lima pria diprediksi mengidap kanker sebelum umur 75 tahun.

Sebuah badan penelitian asal Inggris mengungkap konsep sosial "kejantanan" sebagai salah satu penyebab di balik lebih rentannya pria terhadap kanker dibandingkan wanita. Fenomena yang sama juga diamati di Asia.

Karena banyak pria merasa perlu unjuk kejantanan, mereka lebih cenderung mengadopsi gaya hidup tidak sehat, yang diketahui dapat meningkatkan risiko kanker dan menghiraukan tanda-tanda masalah kesehatan.

Diskusi mengenai kesehatan pria serta ajakan melakukan pemeriksaan kesehatan juga masih kurang dijumpai dibandingkan dengan pesan-pesan kesehatan yang biasanya ditujukan bagi wanita.

"Waktu adalah faktor kunci dalam perawatan kanker, tetapi kami justru sering mendapati pasien pria yang menunda memeriksakan diri ke dokter hingga kanker mereka telah mencapai tahap lanjut," kata Dr. Richard Quek, Senior Consultant - Medical Oncology dari Parkway Cancer Center (PCC) dalam keterangan resmi, Jumat.

Para pasien pria tersebut umumnya beralasan, gejala-gejala yang mereka alami seperti letih berkelanjutan dan gangguan kemih hanya tanda penyakit ringan dan mereka harus kuat menghadapinya. Padahal, bila terus berlanjut, gejala-gejala tersebut dapat menjadi pertanda awal kanker pria, seperti kanker prostat dan penis.

"Semakin cepat kita mendiagnosis pasien, semakin baik pula prospek perawatan atau penyembuhan."

Kanker prostat adalah jenis kanker ketiga terbanyak di Indonesia setelah kanker paru-paru dan dubur. Sekitar 15 kasus ditemukan di setiap populasi berjumlah 100.000 orang, dan angka ini terus meningkat dengan cepat.

Kanker prostat pada tahap awal umumnya muncul tanpa gejala. Namun, pada tahap lanjut, gejala-gejala seperti perubahan pola berkemih – lebih sering, sulit mulai atau berhenti, aliran lemah – serta munculnya darah pada air seni dan nyeri tulang dapat muncul.

Sebaliknya, kanker penis lebih jarang ditemui, tetapi akibatnya banyak orang juga tak familier dengan tipe kanker yang diasosiasikan dengan inveksi virus papiloma manusia (HPV) layaknya kanker serviks pada wanita.

Gejala yang perlu diperhatikan ialah munculnya benjolan, ruam atau lecet yang tak kunjung sembuh, serta pendarahan pada penis.

Faktor risiko

Ahli Urologi Parkway Hospitals Dr. Poh Beow Kiong memaparkan sejumlah faktor risiko kanker prostat dan penis. Meningkatnya usia berperan besar terhadap kemunculan kedua kanker ini, demikian pula gaya hidup tidak sehat.

"Obesitas, akibat pola makan tak sehat dan kurang olahraga, misalnya meningkatkan kemungkinan pria mengidap kanker prostat. Sedangkan, merokok, seks bebas dan infeksi HIV mempertinggi prospek kanker penis," ujarnya.

Untungnya, berkat laju perkembangan penyakit yang relatif lambat dan kemajuan dunia medis, kedua tipe kanker ini memiliki tingkat penyembuhan yang tinggi.

“Yang penting, pasien harus mendapatkan diagnosis yang akurat untuk mengetahui tipe serta tahap kanker yang diidapnya, sehingga ia bisa mendapatkan rencana perawatan yang optimal, entah itu radiasi, operasi, atau lainnya,” lanjutnya.

Sebagai contoh, tindakan medis untuk setiap pasien berbeda, tergantung dari usia, kondisi kesehatan pasien, tipe kanker, stadium kanker, dan ada atau tidaknya penyebaran kanker di luar lokasi asal tumor.

Dalam kasus kanker prostat, pada stadium awal yang berisiko rendah, pasien umumnya memiliki pilihan perawatan meliputi observasi --mengawasi kondisi tanpa perawatan medis--, operasi, atau radiasi. Lain halnya dengan pasien yang mengidap kanker prostat stadium lanjut.

Mereka membutuhkan perawatan dini untuk mengurangi gejala dan meningkatkan harapan hidup. Saat ini, terdapat banyak pilihan perawatan untuk kanker prostat stadium lanjut, termasuk terapi hormon untuk menurunkan tingkat hormon pria pasien, kemoterapi, imunoterapi, dan terapi target radiasi tulang.

Beberapa studi mengungkapkan bahwa pendekatan multidisiplin berkontribusi terhadap rencana perawatan yang optimal dalam penanganan kanker.

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019