Jakarta (ANTARA News) - Tiga bulan sudah kampanye pemilihan presiden 2019 dengan dua pasang calon mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perdebatan antarpendukung ramai di berbagai media. Media massa dan media sosial dipenuhi oleh sentimen kedua kubu.
Namun demikian, terdapat kelompok lain yang memutuskan untuk tidak mendukung kedua pasangan calon yang berkompetisi menduduki jabatan presiden dan wakil presiden.
Banyak aktivis dan pengamat melihat kelompok yang kerap disebut sebagai golongan putih atau golput ini, muncul sebagai bentuk protes.
Golput dianggap sebagai satu bentuk ekspresi protes terhadap mekanisme capres-cawapres oleh partai politik yang masih didominasi pertimbangan politik praktis dan mengesampingkan nilai-nilai penting.
Nilai-nilai penting itu adalah integritas individu, rekam jejak yang bersih, anti-korupsi, toleransi tinggi, dan keberpihakan pada hak asasi manusia.
Selain itu pilihan capres dan cawapres yang sangat terbatas dinilai sejumlah pihak juga tidak terjadi secara alami, namun karena sistem politik yang dirancang sedemikian rupa.
Hal tersebut juga dikatakan oleh advokat publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Algifari Aqsa yang menyebutkan bahwa pilihan untuk menjadi golput adalah bentuk protes karena menginginkan sistem politik yang lebih baik.
"Golput bukan gerakan untuk menggemboskan pasangan calon tertentu, tapi ini karena ada masyarakat yang ingin demokrasi lebih substansial dan sistem politik yang lebih baik," ujar Algif.
Berdasarkan pengamatan Algif, terdapat beberapa alasan mengapa seseorang memutuskan untuk golput.
Yang pertama seseorang merasa dari dua pasangan calon di 2019 ini tidak ada yang cukup baik, namun mereka merasa dipaksa memilih salah satunya.
Kemudian adapula pemilih golput yang tidak percaya pada sistem pemilihan dan demokrasi saat ini, karena merasa pemilihan cenderung diwarnai oleh partai politik yang fokus pada kepentingan partainya.
Selain itu ada juga orang yang tidak bisa memilih karena buruknya DPT ataupun karena dihalangi oleh berbagai faktor lain.
Kendati demikian, Algif menjelaskan bahwa golput merupakan hak konstitusional warga negara, karena golput ternasuk hak untuk memilih dan berekspresi yang diatur dan dilindungi oleh UUD 1945.
Senada dengan Algif, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menyebutkan golput bisa menjadi salah satu ekspresi yang dipilih oleh warga negara yang merasa kecewa dengan sistem politik elektoral yang ada.
Ekpresi protes ini juga semakin terbuka di ruang media sosial, pasca-debat capres 2019 putaran pertama.
Pasca-debat capres 2019 tersebut, Yati melihat diskursus mengenai golput mengalami peningkatan dan semakin terbuka dibicarakan di ruang publik.
"Saya hanya ingin mengatakan supaya jangan anggap enteng fenomena golput ini, karena ini semacam semacam pengingat bagi penyelenggara negara dan kontestan politik bahwa ada kekecewaan dan kemarahan masyarakat," kata Yati.
Yati melanjutkan kemarahan masyarakat terkait dengan kinerja petahana maupun dari kandidat lain, yang memiliki visi dan misi serta kebijakan politik yang dianggap kurang jelas.
'Hal ini semakin dikuatkan ketika kita lihat dalam debat pilpres 2019 putaran pertama, bahwa substansi ham, korupsi, dan terorisme yang seharusnya dibahas malah jauh dari harapan," ujar Yati.
Sebagai bagian dari ekspresi politik, maka golput merupakan hak warga negara yang muncul akibat sistem politik dan pasangan calon yang tidak berhasil menjawab harapan masyarakat, ujar Yati.
Yati kemudian menambahkan karena golput adalah hak, maka pihak yang mengekspresikannya juga wajib dilindungi oleh negara, atau negara tidak boleh merintangi apabila masyarakat menggunakan ekspresi politiknya untuk memilih golput.
Bukan tindak pidana
Sikap pilihan golput atau tidak memilih dinilai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arief Maulana, sebagai ekspresi politik dengan dasar hukum yang jelas, sehingga tidak bisa disebut sebagai satu bentuk tindak pidana.
Arief menyebutkan bahwa menjadikan golput sebagai pilihan politik dilindungi oleh Pasal 28 e ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pikiran, sikap, yang sesuai dengan hati nuraninya.
Karena dilindungi dalam UUD 1945 maka golput sebagai ekspresi politik tidak saja merupakan hak asasi manusia, namun juga merupakan hak konstitusional warga negara yang secara jelas dilindungi oleh undang-undang.
Selain itu Undang Undang Nomor 39/1999 juga mengatur jaminan kepada setiap orang untuk menentukan keyakinan, pandangan, serta sikap politik yang sesuai dengan hati nuraninya.
"Maka kalau di luar sana tersebar hoaks bahwa memilih untuk tidak memilih atau golput adalah tindak pidana, itu jelas keliru karena kita bisa merujuk pada undang-undang yang ada," ujar Arief.
Pilihan politik tidak harus dimaknai dengan memilih salah satu pasangan calon baik calon presiden maupun calon legislatif, namun ada opsi lain untuk tidak memilih calon manapun yang tidak sesuai dengan hati nurani pemilih.
"Namun yang harus diingat kemerdekaan berekspresi dan berpendapat tetap ada batasannya yaitu tidak boleh melanggar undang-undang," ujar Arief.
Pidana terkait dengan golput memang diatur dalam Pasal 515 UU 7/2017, namun dalam ketentuan tersebut terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas.
Adapun pasal tersebut berbunyi, bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, Arief menjelaskan bahwa pidana golput hanya diberikan kepada orang yang menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan, dengan cara menjanjikan atau memberikan sesuatu.
"Hal ini tentu berbeda dengan orang yang mendeklarasikan bahwa dirinya golput, selama tidak menggerakkan orang lain dengan menggunakan janji atau imbalan materi untuk golput," jelas Arief.
Dengan demikian, mengambil sikap golput adalah pilihan politik dan bukan pelanggaran hukum, asalkan tidak melanggar aturan atau undang-undang yang berlaku.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019