Jakarta (ANTARA News) - KPK memanggil dua anggota DPR, yaitu Ahmad Rizki Sadik dari fraksi PAN dan Eka Sastra dari fraksi Golkar, sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait dana alokasi khusus (DAK) untuk Kabupaten Kebumen terkait tersangka Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan.

"Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua Banggar DPR tahun 2016 AHmad Rizki Sadig dan anggota DPR yang juga anggota Banggar tahun 2016 Eka Sastra hari ini dipanggil sebagai saksi untuk tersangka TK (Taufik Kurniawan)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.

KPK dalam perkara ini menduga bahwa Taufik menerima hadiah sebesar Rp3,65 miliar dari Bupati Kebumen nonaktif Muhammad Yahya Fuad sebagai fee lima persen pengurusan anggaran DAK untuk kabupaten Kebumen yang merupakan daerah pemilihan (dapil) Taufik Kurniawan.

Dapil Taufik adalah Jawa Tengah Vll yang terdiri dari Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga. Dua kepala daerah kabupaten tersebut yaitu Bupati Kebumen Yahya Fuad dan Bupati Purbalingga Tasdi juga menjadi tersangka kasus korupsi di KPK.

Yahya Fuad menyanggupi fee lima persen tersebut dan kemudian meminta fee tujuh persen pada rekanan di Kebumen.

Saat pengesahan APBN Perubahan Tahun 2015, Kabupaten Kebumen mendapat alokasi DAK tambahan Rp93,37 miliar yang direncanakan digunakan untuk pembangunan jalan dan jembatan di Kebumen.

Dalam surat tuntutan Bupati Kebumen non-aktif Muhamad Yahya Fuad yang sudah divonis selama 4 tahun penjara pada Senin (22/10) lalu disebutkan bahwa Yahya Fuad pada Juni 2016 ditawari oleh Taufik Kurniawan sebagai wakil ketua DPR RI dimana ada dana Dana Alokasi Khusus Perubahan tahun 2106 untuk jalan sebesar Rp100 miliar.

Taufik mengatakan "Ini tidak gratis, karena untuk kawan-kawan". Yahya saat itu tidak langsung menjawab.

Pada waktu pertemuan di pendopo pada 2016 dengan tim pendukungnya yaitu Hojin Ansori, Muji Hartono alias Ebung dan Khayub Muhammad Lutfi untuk membicarakan mengenai DAK yang belum turun.

Tim pendukung lalu mengusulkan untuk "Diambil saja Pak", Yahya juga menyampaikan untuk mendapatkan DAK itu tidak gratis namun mereka tetap mengatakan untuk mengambil saja.

Taufik meminta fee sebesar 5 persen dari anggaran tersebut adalah sebesar Rp5 miliar, tapi Yahya membujuk agar dibayar sepertiganya saja dulu yaitu sekitar Rp1,7 miliar dimana yang menyiapkan uang tersebut adalah Hojin dan Ebung.

Yahya lalu memerintahkan Hojin ke hotel Gumaya untuk bertemu dengan utusan Taufik Kurniawan bernama Ato dan memberikan uang rintisan DAK sebesar Rp1,7 miliar karena saat itu dana belum turun.

Terhadap permintaan Taufik mengenai kekurangan dana unduhan DAK Tahun 2016, kemudian Yahya menghubungi Adi Pandoyo dan Adi meminta tolong ke Khayub Muhammad Lutfi untuk menyiapkan dana tersebut.

Khayub M Lutfi lalu memberikan dana sebesar Rp2,5 miliar dan Rp500 juta untuk dana operasional, sehingga Rp1,5 miliar oleh Adi Pandoyo diserahkan kepada utusan Taufik di hotel Gumaya.

Yahya juga mengaku pernah dipertemukan kepada orang Departemen Keuangan oleh Taufik Kurniawan. Kabupaten Kebumen saat Yahya dan Khayub merintis Dana DAK turun sebesar Rp112 miliar,

Kemudian untuk DAK Perubahan 2016 merintis melalui Taufik Kurniawan DAK yang turun sebesar Rp93 milyar, kemudian pada tahun 2017 DAK yang turun hanya Rp23 milyar, kemudian DAK Perubahan 2017 tidak dirintis maka tidak ada yang turun atau nihil.

Dalam dakwaan itu disebutkan bahwa saat Yahya dilantik menjadi Bupati Kebumen kondisi jalan di Kebumen banyak yang berlubang, sampai di media itu ada julukan buat Kabupaten Kebumen dengan istilah "Selamat datang di kota Jeglongan sewu".

Karena itulah kemudian Yahya mencari jalan dengan jalan-jalan formal serta ke hampir semua anggota DPR Pusat yang dari Dapil Kebumen ditemui Taufik Abdullah, Romahurmuzy, Utut Adianto, Bambang Soesatyo, Darori Ronodipuro, Amelia dan Taufik Kurniawan untuk dapat membantu pembangunan Kabupaten Kebumen.

Atas perbuatannya tersebut, Taufik Kurniawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019