Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk melaporkan perihal penunggakan utang BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan, yang berdampak pada perusahaan-perusahaan obat.

Ketua Umum GP Farmasi Indonesia Tirto Kusnadi mengatakan selama ini masih banyak penjualan obat yang belum dibayarkan oleh fasilitas kesehatan kepada perusahaan-perusahaan farmasi dengan nilai mencapai Rp3,6 miliar.

"Ini nilainya cukup besar sehingga akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan industri farmasi. Kami sudah sampaikan ke Pak Wapres dengan harapan ada suatu yang bisa dibantu untuk ini bisa diselesaikan," kata Tirto di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Rabu.

Tirto menyebutkan nilai utang tersebut belum dibayarkan dalam jangka waktu penunggakan yang cukup lama, mulai dari satu hingga tiga bulan.

GP Farmasi tidak dapat menagih utang tersebut secara langsung kepada BPJS Kesehatan karena posisi para penyedia obat tersebut sebagai pihak ketiga, yang berhubungan langsung dengan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik kesehatan dan puskesmas.

"Ya kalau bisa, BPJS Kesehatan segera membayar kepada rumah sakit, kemudian rumah sakit bisa membayar kepada pemasok obat. Sulitnya, kami ini adalah co-provider, jadi kami supply ke rumah sakit, lalu digunakan oleh rumah sakit, lalu rumah sakit menagih BPJS untuk dibayar, baru (RS) akan bayarkan ke kami," jelasnya.

Alur tersebut, menurut Tirto, semakin menghambat proses pelunasan pembayaran obat-obatan yang selama ini telah digunakan oleh fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan.

"Keinginan kami sebetulnya supaya bisa menjadi provider langsung, jadi obat dibeli dan dibayar langsung ke kami. Tapi ini memakan sistem (perubahan peraturan) yang tidak mudah," ujarnya.

Sementara itu Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden, Bambang Widianto, mengatakan penunggakan pembayaran tersebut disebabkan oleh defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan.

Bambang menjelaskan dari dana yang telah digelontorkan Pemerintah kepada BPJS Kesehatan, hanya 10 persen di antaranya digunakan oleh fasilitas kesehatan untuk membayar utang obat-obatan kepada perusahaan farmasi.

"Ini karena ada penundaan pembayaran dari BPJS ke rumah sakit, ya jadi berdampak ke sana. Kemarin kan sudah dibayar Pemerintah Rp10 triliun kan, tapi ternyata yang mengalir ke pabrik obat itu baru Rp300 miliar dari Rp3 triliun (utang), jadi baru 10 persen," jelas Bambang.

Oleh karena itu, upaya Pemerintah untuk membenahi defisit BPJS Kesehatan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan utang pembayaran obat-obatan kepada perusahaan farmasi.

Baca juga: Pemkab Cianjur rumuskan solusi tunggakan dari BPJS Kesehatan
Baca juga: Tunggakan PBI BPJS Kesehatan Sulsel Rp116,4 miliar

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019