Jakarta (ANTARA News) - Komite III DPD RI berharap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang disusun DPR RI memperhatikan kepentingan umat dengan mengedepankan akhlak mulia dan penghapusan diskriminasi antara pendidikan swasta serta negeri.
"RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mencoba menjadi jawaban atas kegusaran mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan keagamaan," kata Wakil Ketua Komite III DPD RI Novita Anakotta saat RDP tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa.
Novita menjelaskan, dalam konteks konstitusional, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional masih memiliki permasalahan.
Dari sisi substansi, UU tersebut telah mengalami pembaharuan berupa pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia, penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah serta pendidikan yang dikelola masyarakat.
"Meskipun UU ini telah mengakomodir pendidikan keagamaan, namun pada kenyataannya masih banyak lembaga pendidikan keagamaan yang belum merasakan kehadiran pemerintah baik formal ataupun nonformal," kata senator asal Maluku Utara itu.
Melalui metode berbasis pendekatan keagamanaan, Novita berharap bisa menambah keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia manusia Indonesia.
Hal Ini juga mampu menjaga kerukunan hubungan antar dan inter umat beragama.
"Dalam sistem ini, peserta didik mampu memahami dan menghayati nilai agama yang harmoni dengan penguasaan ilmu pengetahuan teknologi dan seni," kata dia.
Anggota Komite III DPD RI Abdul Azis Khafia menyatakan setuju dengan adanya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Menurut dia, memang perlu ada kesetaraan pendidikan agama di Indonesia. "Memang jangan ada lagi ada dikotomi pendidikan agama," katanya.
Namun, sampai saat ini belum ada pembahasan yang utuh mengenai RUU ini, antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sementara itu, Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Thomas Pentury beranggapan bahwa RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan memiliki kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal.
Khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia. "Gereja khawatir RUU ini menjadi model intervensi negara terhadap agama," katanya.
Menurut Thomas, pada dasarnya gereja mendukung RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sejauh hanya mengatur pendidikan formal. Selain itu tidak memasukan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia seperti pelayanan kategorial anak dan remaja.
"Kami mengusulkan untuk merekonstruksi ulang pendidikan keagaman Kristen melalui jalur pendidikan formal yang semula SDTK, SMPTK, SMAK/SMTK menjadi SDK, SMPK, SMAK/SMTK," ujar Thomas.
Di kesempatan yang sama, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Ahmad Zayadi sependapat bahwa RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sesuatu yang dibutuhkan. Selain itu, RUU ini juga sangat dibutuhkan pada pendidikan keagamaan agar ke depan bisa mendapatkan kesetaraan baik regulasi, program kegiatan dan anggaran.
Kewajiban negara memberikan pengakuan pesantren dan keagamaan dalam membetuk kesatuan NKRI yang merupakan menjaga kekhasan keagamaan.
"Inilah tradisi kita yang perlu kita rawat dalam perbedaan,” kata Zayadi.*
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019