Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (kejagung) menolak permohonan intervensi dalam perkara dugaan penyelewengan dana Yayasan Beasiswa Supersemar milik mantan Presiden Soeharto. Dalam sidang perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin, Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara Dachmer Munthe mengatakan alasan pemohon intervensi memiliki hubungan emosional dengan Yayasan Beasiswa Supersemar tidak bisa diterima. "Hubungan emosional bukanlah ulasan hukum untuk mengajukan permohonan intervensi," kata Dachmer. Sebelumnya, Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan intervensi dalam gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar. Kuasa hukum KMA-PBS, Mohammad Yuntri, mengkhawatirkan gugatan yang dilayangkan Kejaksaan Agung akan mempengaruhi aliran dana beasiswa Supersemar. Yuntri juga mengatakan apabila majelis hakim mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung, maka akan terjadi intervensi kepengurusan Yayasan Supersemar. Intervensi itu dikhawatirkan akan mengubah visi dan misi yayasan yang sejak didirikan bertujuan untuk memajukan pendidikan. Dachmer membantah bahwa gugatan akan mempengaruhi aliran dana beasiswa gugatan Yayasan Beasiswa Supersemar. Kejaksaan Agung, kata Dachmer, tidak mempermasalahkan penyaluran beasiswa yayasan milik Soeharto, melainkan mempermasalahkan penyelewengan dana beasiswa tersebut. "Pemberian beasiswa bukanlah perbuatan melawan hukum," katanya. Selain itu, Jaksa Pengacara Negara menilai pengembalian dana beasiswa ke kas yayasan adalah sesuatu yang terlalu dini. "Pengajuan permohonan intervensi dalam masalah ini adalah permohonan yang terlalu dini" ujar Dachmer. Untuk itu, Tim Jaksa Pengacara Negara memohon agar majelis hakim menyatakan permohonan intervensi tidak dapat diterima. Sementara itu, kuasa hukum dari tergugat Wiboyono Senoadji menegaskan pemohon intervensi memiliki hak untuk mengajukan permohonan intervensi. Status pemohon sebagai penerima beasiswa menunjukkan hubungan emosional antara pemohon dengan Yayasan Beasiswa Supersemar. "Pemohon intervensi adalah penerima beasiswa yang memiliki kepentingan," kata Wiboyono. Gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diajukan terkait dugaan penyelewengan dana pada yayasan itu yang sekaligus diketuai Soeharto. Kejaksaan juga menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun. Menurut Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munthe, yayasan tersebut pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank pemerintah dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 373/KMK.011/1978, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, namun pada prakteknya tidak demikian dan telah terjadi penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut JPN, merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata. Dalam pengajuan gugatan itu, Kejakgung akan menghadirkan 15 hingga 20 saksi untuk memperkuat substansi gugatan. Sebelumnya pada 21 Agustus 2000 Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi pada tujuh yayasan, termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian keuangan negara melalui pengajuan gugatan perdata. (*)
Copyright © ANTARA 2007