Jakarta (ANTARA News) - Kemarau basah membuat titik api kebakaran hutan Indonesia 2007 sangat jauh menurun daripada tahun 2006, dan jumlah titik api 2007 sampai September hanya sebesar 20 persennya saja jumlah titik api 2006 sampai September.
"Biasanya puncak jumlah kebakaran hutan adalah pada kemarau di bulan September, lalu Oktober dan November terus menurun dan Desember biasanya tidak ada lagi titik api," kata pakar iklim dari BPPT, Dr Edvin Aldrian, yang dihubungi di Jakarta, Senin.
Disebutkan Edvin, pada 2006 sampai September, titik api kebakaran hutan mencapai 38.393 titik di Sumatera dan 52.211 titik di Kalimantan. Namun pada 2007 sampai September Sumatera hanya mencatat 11.911 titik dan kalimantan 9.994 titik api.
Pada 2006, lanjut dia, total jumlah titik api di Sumatera mencapai 49.560 titik dan kalimantan 71.868 titik. Kemungkinan jumlah titik api pada sisa bulan di 2007 juga akan terus merosot.
Kemarau basah, menurut dia, adalah kemarau yang lebih banyak menurunkan curah hujan. Penyebabnya lebih karena pengaruh pemanasan global seperti juga kemarau yang kering dan berdampak pada jumlah kebakaran hutan yang sangat tinggi.
"Pemanasan global membuat iklim cepat berubah secara ekstrim. Variasi titik api bulanan sangat dipengaruhi variasi iklim, dimana korelasi titik api dengan indeks iklim di Samudera Pasifik atau fenomena El Nino di atas 90 persen, kebakaran hutan sangat tinggi ketika ada El Nino," katanya.
Ditanya soal kebakaran hutan jati di Jawa Timur dan Jawa Barat minggu lalu, menurut dia, tidak lazim namun ia menolak berkomentar karena lokasi kebakaran berada di perusahaan perkebunan.
Sementara itu, Kepala BPPT, Said D Jenie mengatakan BPPT sudah sejak lama merintis kerja sama dengan berbagai institusi baik nasional dan internasional untuk mengantisipasi kebakaran hutan.
"BPPT bersama Lapan, BMG dan beberapa negara Asean serta Kanada telah mengembangkan teknologi Fire Danger Rating System (FDRS) atau sistem peringkat bahaya kebakaran hutan (SPBK) yang merupakan suatu sistem peringatan dini bahaya kebakaran hutan," katanya.
BPPT dengan Max Planck Institute for Meteorology Hamburg dan Cambridge University pada 2004-2006 juga telah mengembangkan permodelan iklim bagi penyebaran asap kebakaran hutan dan menghitung jumlah emisi karbon hasil kebakaran tersebut.
Namun perhitungan neraca karbon untuk wilayah Indonesia telah dilakukan bukan hanya untuk kasus kebakaran hutan tetapi juga kasus di sungai, muara dan laut, tambahnya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007