Bojonegoro (ANTARA News) - Dalam catatan sejarah, Gunung Kelud (1.731) mengenal siklus letusan secara periodik. Siklus terpendek selama 15 tahun dan terpanjang 30 tahun. "Jika letusan terakhir pada 10 Februari 1990, itu berarti saat ini Gunung Kelud telah melewati siklus terpendek," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Surono, saat meninjau danau kawah Gunung Kelud di Dusun Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jatim, minggu lalu. Kedatangan Surono itu untuk memantau kondisi danau kawah sejak Gunung Kelud dinyatakan berstatus Waspada (Level II) pada 11 September 2007. Kini status Gunung Kelud naik dari Waspada menjadi Siaga (Level III) setelah aktifitas gempa vulkanik semakin meningkat sejak Sabtu (29/9) sore. Kronologi peningkatan status Gunung Kelud ini menarik untuk disimak. Dua hari sebelum statusnya meningkat dari Aktif Normal (Level I) menjadi Waspada pada 11 September 2007, Bupati Kediri Sutrisno dan para pejabat melakukan ritual dengan melarung saji ke danau kawah. Ritual yang diselenggarakan pada 9 September 2007 itu hanya diikuti beberapa tokoh masyarakat setempat karena tujuannya untuk memancing wisatawan. Ritual yang dilakukan para pejabat itu memancing juru kunci Gunung Kelud, Mbah Ronggo, melontarkan pernyataan. Menurut Mbah Ronggo, ritual yang dilakukan Bupati Sutrisno itu tidak lazim. "Biasanya ritual pada bulan Syura, tapi ini dilakukan mendekati puasa. Selain itu dalam ritual ada salah satu syarat yang lupa tidak terbawa," katanya. Saat PVMBG Bandung menetapkan status Gunung Kelud "Waspada", Bupati Sutrisno pun berusaha menenangkan masyarakat yang sebagian di antaranya sudah banyak yang resah. Lalu Bupati Sutrisno kembali melakukan ritual pada Jumat (28/9) dinihari. Kali ini tidak dilakukan di danau kawah, tapi di dekat Pos Pemantauan Gunung Api (PPGA) Kelud yang berjarak sekitar delapan kilometer dari danau kawah. Ritual kedua ini berbeda dengan sebelumnya yang hanya untuk tujuan menawarkan obyek wisata Gunung Kelud. Dalam ritual kali ini, bupati dan ratusan pejabat struktural serta PNS di lingkungan Pemkab Kediri shalat tahajud bersama hingga menjelang waktu imsak. Namun sehari setelah ritual kedua ini, status Gunung Kelud justru meningkat lagi dari Waspada menjadi Siaga sesuai surat keputusan PVMBG yang tembusannya ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Klop sudah, dua kali ritual yang dilakukan oleh bupati, dua kali pula status Gunung Kelud meningkat," kata Sutrisno (53), yang sehari-hari bertugas sebagai muadzin di masjid Desa Sugihwaras, Minggu sore. Ritual yang dilakukan bupati dan para pejabat itu memang sangat beralasan mengingat pemerintahan yang dipimpinnya sudah banyak menyedot anggaran, bahkan nilainya hingga mencapai Rp35 miliar untuk membangun obyek wisata di Gunung Kelud. Kondisi Gunung Kelud dua tahun silam jauh berbeda dengan saat ini, yang permukaan jalannya sudah dilapisi aspal "hotmix", terdapat kolam air hangat persis di mulut terowongan pembuangan air danau kawah, tempat parkir luas, gardu pandang, puluhan kios pedagang makanan dan svenir yang dibangun secara permanen serta pembangunan fasilitas lainnya yang sampai sekarang terus berlangsung. Meskipun tidak berhak melarang dan mengijinkan pembangunan obyek wisata di sekitar gunung berapi itu, Surono, tetap menghormati inisiatif Pemkab Kediri. "Saya pikir bagus, daripada orang mandi air hangat di kawah, lebih baik dibuatkan pemandian. Hitung-hitung apa yang dilakukan pemerintah daerah ini bertujuan untuk investasi. Soal rekomendasi perijinan itu bukan wewenang saya, meskipun gunung ini tetap membawa resiko," kata Surono didampingi beberapa petinggi PVMBG Bandung saat mengunjungi danau kawah Gunung Kelud beberapa waktu lalu. Peningkatan Aktifitas Kepala Sub Bidang Pengawasan Gunung Api PVMBG Bandung, Agus Budianto, mengatakan sejak 27 Agustus 2007 aktifitas Gunung Kelud terus mengalami peningkatan yang cukup berarti. Peningkatan itu dapat dipantau dengan tingkat kegempaan baik vulkanik dalam maupun tektonik jauh. "Padahal selama ini Gunung Kelud dapat dikatakan sebagai gunung yang miskin dengan kegempaan," katanya yang sejak dua pekan terakhir terus memantau perkembangan Gunung Kelud dari PPGA Margomulyo. Pada 9 September 2007 mulai pukul 19.00 hingga 24.00 WIB tercatat 15 kali gempa vulkanik dalam dengan pusat gempa berada pada kedalaman setengah sampai lima kilometer. Diikuti gempa vulkanik tremor satu kali pada 10 September 2007 dengan suhu danau kawah meningkat dari 31 derajat celsius menjadi 33,2 derajat celsius . Hal inilah yang melatarbelakangi PVMBG Bandung menaikkan status Gunung Kelud dari Aktif Normal menjadi Waspada pada 11 September 2007. Kemudian status tersebut dinaikkan lagi menjadi Siaga setelah pada 29 September 2007 pada pukul 12.00 sampai 19.00 WIB tercatat delapan kali gempa vulkanik dalam dan dua kali gempa vulkanik tremor Sedang suhu air danau kawah di kedalaman 15 meter mencapai 36,1 derajat celsius dengan warna air danau kawah hijau-biru keputih-putihan yang menunjukkan adanya peningkatan karbondioksida (CO2) yang mencapai 344 ton per hari dengan tingkat keasaman (pH) 5,72 akibat adanya peningkatan aktifitas magmatik. Meskipun statusnya ditetapkan Siaga, namun sampai saat ini tidak terjadi hujan abu. "Gunung Kelud berbeda dengan gunung api lainnya. Dalam catatan sejarah, Gunung Kelud hanya meletus sekali dalam tempo satu sampai dua jam dengan adanya aba-aba pendahuluan 12 jam sebelumnya," kata Agus menjelaskan. Oleh sebab itu, pihaknya tidak merekomendasikan pemerintah untuk mengevakuasi warga sebelum Gunung Kelud berstatus Awas (Level IV). "Kalau bersiap-siap untuk mengungsi, memang kami anjurkan. Tapi jangan dulu mengungsi karena aktifitas Gunung Kelud masih fluktuatif, bisa meningkat atau malah menurun," katanya. Namun demikian, dia salut dengan tindakan semua pihak terkait yang jauh-jauh hari telah menyiapkan beberapa tempat pengungsian untuk menampung sekitar 22.204 jiwa yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana (KRB) I di Kabupaten Kediri dan 251.630 jiwa yang berada di KRB I Kabupaten Blitar. Persiapan sejak dini itu diakui oleh Camat Ngancar, Kabupaten Kediri, Budi Wahono agar dampak terparah yang terjadi pada letusan 10 Februari 1990 tidak terulang lagi. "Jangan sampai kita kecolongan seperti tahun 1990 lalu," katanya, mengisahkan peristiwa letusan 17 tahun silam yang mengakibatkan 34 orang tewas. Saat ini, ratusan kendaraan pengangkut pengungsi sudah disiagakan, termasuk tempat-tempat berkumpul para warga KRB I sebelum menuju ke tempat penampungan di empat titik di wilayah Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Kecamatan Ngancar. "Kalau Vulkanologi hanya memberikan pedoman berupa KRB I, maka kami merincinya lagi menjadi tiga ring dengan beberapa tempat berkumpul, agar dampak terburuk yang terjadi pada 1990 tidak terulang," kata Budi Wahono. Tapi tidak semua warga mengerti tentang situasi Gunung Kelud saat ini. Bahkan di antara mereka masih banyak yang melakukan aktifitas mulai bertani, mencari kayu bakar, hingga berburu binatang di KRB II dan KRB III yang merupakan kawasan berbahaya. "Saya sudah kulino (terbiasa) dengan letusan Gunung Kelud. Silakan saja yang lain mengungsi, saya tetap berada di rumah menjaga hewan ternak," kata Mbah Katinem (88), saat ditemui di kandang sapi dan kambingnya di Dusun Rejomulyo yang berjarak sekitar delapan kilometer dari danau kawah. Perempuan dengan enam putra dan 12 cucu itu mengaku, sudah lima kali mengalami bencana letusan Gunung Kelud. Namun paling parah dirasakan pada 1990 karena selain kerabatnya meninggal dunia, seorang menantunya bernama Sari sampai saat ini mengalami cacat lantaran tertimpa bangunan rumahnya. Selain Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang juga terancam terkena dampak paling parah akibat Gunung Kelud. Menurut Agus Budianto, selama satu bulan terakhir angin yang berhembus kencang di atas kawah Gunung Kelud mengarah ke utara atau ke wilayah Kabupaten Malang. "Sebenarnya ada yang terlupa, karena selama ini kami selalu mengingatkan warga di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar. Padahal kalau melihat arah angin yang terus-terusan ke utara, maka warga di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, yang harus mewaspadai hujan abu kalau terjadi letusan," katanya. Ia menyebutkan ada 12 desa di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, yang berpotensi terkena hujan abu jika Gunung Kelud meletus saat angin kencang mengarah ke utara. Ke-12 desa itu adalah Sedawun, Plumbang, Munjung, Baturejo, Sekar, Mulyorejo, Ngantru, Banu, Banjarejo, Sidodadi, Simo, dan Gombong. (*)

Oleh Oleh M. Irfan Ilmie
Copyright © ANTARA 2007