Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan mengenai batas waktu 14 hari pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU di Mahkamah Agung (MA) adalah konstitusional.

"Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan tersebut adalah konstitusional dan dianggap sebagai bagian dari kebijakan umum pembentuk undang-undang," ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis.

Pemohon dari perkara ini adalah advokat Husdi Herman dan Viktor Santoso Tandiasa, yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 31A ayat (1) dan ayat (4) UU 3/2009 (UU MA) dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 48/2009 (UU Kekuasaan Kehakiman).

Mahkamah juga berpendapat persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan para pemohon sama dengan permohonan perkara yang telah diputus MK dalam PutusanNomor 30/PUU-XIII/2015, terkait sidang uji materi di MA yang diminta dilakukan secara terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak.

Menurut Mahkamah jika sidang uji materi di MA dilakukan terbuka untuk umum, maka MA harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai.

"Hal ini sekali lagi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan bukan konstitusionalitas norma," ujar Wahiduddin.

Meskipun putusan Mahkamah menyatakan menolak permohonan tersebut, namun terdapat opini berbeda dari Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Saldi berpedapat meskipun UU MA tidak mengatur secara eksplisit proses pemeriksaan uji materi di MA, namun cara berpikir hukum MA dan MK dalam proses pengujian haruslah sejajar.

Berkaitan dengan norma Pasal 31A ayat (4) UU MA yang secara hukum telah dinyatakan konstitusional oleh MK dalam Putusan Nomor 30/PUU-XIII/2015, menurut Saldi pertimbangan hukum dalam perkara tersebut harus ditelisik kembali dengan melihat arti penting proses persidangan yang terbuka untuk umum dalam bingkai kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Dengan tidak menyimpang dari pertimbangan hukum yang telah diputuskan, Saldi berpendapat ketetuan batas waktu yang wajar tetap menjadi ranah pembentuk undang-undang dengan mempertimbangkan prinsip peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

"Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohonan untuk sebagian," pungkas Saldi.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019