Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah pada pekan depan diperkirakan bergerak di kisaran sempit seperti pekan sebelumnya pada level Rp9.130 hingga Rp9.150 per dolar AS, akibat belum munculnya faktor baru yang kuat mendukung pergerakannya. "Rupiah yang mendekati level Rp9.100 per dolar AS merupakan penguatan dari kemerosotan sebelumnya hingga di atas level Rp9.400 per dolar AS akibat pengaruh kasus Subprime Mortgage," kata Pengamat Pasar Uang, Edwin Sinaga, di Jakarta, akhir pekan ini. Ia mengatakan pergerakan rupiah yang sempit itu, karena pelaku melakukan konsolidasi setelah mengalami kenaikan tajam sambil menunggu laporan indikator ekonomi AS pada akhir bulan ini yang diperkirakan melemah. Apabila data ekonomi AS ini melemah, dan bank sentral AS (The Fed) kembali menurunkan suku bunga Fedfund, maka peluang rupiah untuk menguat lagi terbuka lebar, katanya. Menurut dia, pelaku pasar saat ini sedang memfokuskan perhatian terhadap indikator AS, mereka menahan diri untuk masuk ke pasar membeli rupiah dalam jumlah besar. Pelaku pasar sebenarnya optimis dengan melemahnya data pesanan barang dan tenaga kerja AS memberikan tanda bahwa The Fed akan kembali menurunkan tingkat suku bunganya, katanya. Rupiah, lanjutnya, secara perlahan-lahan terus menguat hingga mendekati level Rp9.100 per dolar AS, apabila The Fed kembali menurunkan suku bunganya, maka diperkirakan rupiah akan bisa berada di level Rp9.000 per dolar AS. Edwin Sinaga mengatakan, pergerakan rupiah yang menguat meski dalam kisaran yang kecil, juga karena didukung masuknya investor asing bermain di pasar uang dan pasar saham. Masuknya investor asing ke pasar Indonesia belum mendukung pergerakan rupiah yang lebih berarti, namun cukup memicu rupiah untuk terus berada di bawah level Rp9.200 per dolar AS, bahkan dalam waktu tidak lama akan bisa di posisi Rp9.100 per dolar AS, katanya. Rupiah, menurut dia, juga harus diwaspadai dengan kasus Subprime Mortgage (gagal bayar kredit sektor perumahan AS) yang suatu saat kembali bergejolak, karena masalahnya sampai saat ini masih belum tuntas. Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ekonomi AS sebenarnya sangat dikhawatirkan negara-negara Asia, karena Amerika Serikat saat ini merupakan pasar potensial bagi produk negara kawasan Asia. `Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS makin melambat, bahkan The Fed cenderung mengabaikan inflasi yang meningkat," katanya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007