Oleh Destika Cahyana SP MSc *)

Usai Perang Dunia ke-2, ancaman terbesar terhadap manusia adalah penyakit infeksi oleh bakteri, virus, dan jamur.

Namun, pada era 2000-an musuh manusia berubah. Pembunuh terbesar manusia bukanlah penyakit infeksi, tetapi stroke dan jantung karena dunia kedokteran telah mampu mengatasi penyakit infeksi.

Kini, umat manusia menghadapi ancaman pembunuh terbaru, yaitu polutan yang menyebabkan polusi tanah.

Isu polusi tanah yang berdampak pada makanan menjadi penting didiskusikan mengingat tanggal 25 Januari, merupakan hari Gizi dan Makanan Nasional.

Tanggal ini ditetapkan dengan tonggak sejarah berdirinya Sekolah Djuru Penerang Makanan (SDPM) pada 25 Januari 1951 oleh Bapak Gizi Nasional Indonesia Profesor Poerwo Soedarmo.

Hari Gizi dan Makanan Nasional kemudian gencar diperingati sejak 1970-an. Gizi sendiri diambil dari Bahasa Arab, gidzaaun, yang dalam kamus Al Maany berarti makanan sehat.

Polusi tanah menjadi isu hangat karena Food Agriculture Organization (FAO) baru saja mendeklarasikan Soil Pollution sebagai tema besar sepanjang 2018-2019.

Di kalangan praktisi pertanian, khususnya ilmuwan Ilmu Tanah, terdapat adagium terkenal yaitu tanah sehat menghasilkan tanaman sehat, tanaman sehat menghasilkan makanan yang sehat, makanan sehat menghasilkan manusia yang sehat, manusia sehat menghasilkan pikiran yang sehat, pikiran sehat menghasilkan bangsa yang kuat dan maju.

Pepatah tersebut diyakini para praktisi pertanian sejak belajar di semester awal.

Kini kesehatan tanah terancam oleh polutan sehingga polusi tanah dapat dianggap sebagai hidden enemy.

Polutan tersebut dapat mengancam manusia dengan dua mekanisme sederhana, yakni polutan di tanah ikut terserap ke dalam tanaman pangan melalui aliran massa, difusi, maupun pergerakan akar, kemudian tinggal dalam jaringan tanaman sehingga membahayakan kesehatan saat dikonsumsi.

Selain itu, polutan menyebabkan tanaman mengalami keracunan sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat, bahkan gagal panen.

Dampaknya produksi pangan terhambat sehingga memicu bahaya kelaparan pada abad modern.

Pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti dikutip Agus Yulianto dari PT Nasional Hijau Lestari menyebutkan pada 2017 terdapat 4.366 perusahaan di Indonesia yang menghasilkan limbah bahan beracun berbahaya (B3) sebesar 73,54 ton.

Hal itu belum termasuk limbah berupa timbulan sampah sebesar 65,8-juta ton per tahun.

Di antara limbah tersebut, hal yang sering tidak disadari adalah bahaya limbah medis yang berasal dari 2.813 rumah sakit di Indonesia yang mencapai 242 ton per hari.

Artinya setiap rumah sakit yang umumnya berada di dekat pemukiman padat, rata-rata menghasilkan 87 kilogram per hari. Ironisnya jasa pengelolaan limbah medis belum banyak sehingga seringkali pengolahan tidak sesuai prosedur.

Pemusnahan limbah medis tidak bisa sembarangan seperti membakar sampah biasa karena membutuhkan suhu 1.600-2.000 derajat Celcius agar bibit penyakit mati.

Catatan KLHK baru sekitar 63 persen limbah medis yang diolah sesuai prosedur melalui kerja sama dengan perusahaan semen.

Dengan kata lain, saat ini masih banyak tersisa jutaan ton limbah mencemari tanah, air, dan udara sehingga mengancam kehidupan manusia.

Pada masa lalu, ketika jumlah limbah belum melonjak, tanah berperan sebagai ginjal ekosistem. Mirip dengan ginjal dalam tubuh manusia yang mampu menetralisasi racun yang masuk tubuh.

Sederhananya, partikel tanah, yaitu fraksi liat (clay) beserta bahan organik (seperti humus) memiliki muatan negatif sehingga bersifat koloid.

Di dalam tanah, limbah logam berat yang umumnya bermuatan positif ditangkap oleh liat dan bahan organik sehingga berada dalam bentuk immobile alias stabil sehingga tidak mencemari badan air serta tidak diserap oleh tanaman, mengganggu tanaman, atau menguap ke atmosfer.

Namun, ketika jumlah limbah semakin melonjak akibat aktivitas manusia, maka limbah yang masuk melampaui kapasitas tanah untuk menetralisasi racun.

Dampaknya adalah semakin banyak limbah yang mencemari badan air sekaligus terserap oleh tanaman yang menjadi sumber pangan manusia.

Pada 2007 misalnya, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian telah memberi peringatan dengan menyatakan sebagian sawah di Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo tercemar limbah Cadmium (Cd) dengan kandungan 0,59-1,39 ppm.

Padahal, batas maksimum Cd dalam tanah adalah 0,5 ppm. Kini tentu, seperti yang FAO ulas, jumlah polutan seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik (As), nikel (Ni), dan sebagainya di dalam tanah semakin meningkat.

Tentu peringatan Hari Gizi dan Makanan Nasional ini menjadi momentum yang tepat mengampanyekan tanah sehat sebagai akar penopang untuk menghasilkan makanan sehat.

Secara sederhana, pada konteks makanan sehat, maka tanah sehat didefinisikan sebagai tanah yang secara fisik, kimia, dan biologi mampu menopang produktivitas tanaman pangan yang aman bagi manusia yang mengonsumsinya, serta bagi manusia yang hidup di atas tanah tersebut.

Tanah sehat lahir dari masyarakat yang sadar terhadap pentingnya tanah sebagai penopang kehidupan.

Posisi tanah setara dengan elemen udara dan elemen air yang sejak lama dipercaya masyarakat timur, seperti Jepang dan China, sebagai elemen kehidupan.

Menjaga tanah agar tetap sehat dapat dimulai dari diri sendiri dengan mengelola sampah dan limbah rumah tangga secara baik.

Gerakan bank sampah yang belakangan muncul di berbagai komunitas layak didukung karena menyaratkan memilah sampah sejak dari rumah tangga.

Sampah organik dipisahkan dengan sampah anorganik sejak dari awal.

Sampah organik dapat dikumpulkan dalam sebuah bioreaktor sederhana untuk kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman di pekarangan.

Pemisahan tersebut menjadikan sampah organik tidak mencemari sampah anorganik sehingga sampah anorganik, plastik, kertas, kardus, aluminium dapat didaur ulang dengan kualitas yang baik.

Pemilahan sampah sejak di rumah tangga membantu pemerintah lebih fokus pada limbah bahan berbahaya dan beracun asal industri yang membutuhkan perlakuan khusus.

Pemerintah juga dapat lebih fokus mengantisipasi ledakan bom waktu limbah rumah tangga elektronik seperti bekas telepon pintar berikut baterai yang mengandung logam berbahaya.

Pemerintah, industri, dan warga negara dapat bersinergi untuk mengelola limbah masing-masing sesuai dengan kapasitasnya.

Hanya dengan cara itu hidden enemy berupa polusi tanah yang menjadi ancaman bagi manusia melalui pangan dan produksi pangan dapat dikendalikan. Selamat Hari Gizi dan Makanan Nasional.*

*) Penulis adalah peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, dan Mahasiswa S-3 Ilmu Tanah di Institut Pertanian Bogor (IPB).


Baca juga: 2.200 desa hadapi pencemaran tanah


Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019