Jakarta (ANTARA News) - Penolakan terhadap pernyataan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil yang akan menjadikan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bagian dari Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) bermunculan. Penolakan muncul dari Komisi V DPR, Asosiasi Pengembang Perumahan Indonesia (Apersi), Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), pengamat properti, bahkan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Meneg Pera) saat dihubungi secara terpisah, Minggu. Ketua Komisi V DPR, Ahmad Muqowam, secara tegas menolak keinginan Meneg BUMN tersebut, karena dalam butir kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa waktu lalu secara tegas menyebutkan BTN harus berdiri sendiri sebagai bank yang fokus di bidang pembiayaan perumahan. "Kita dulu pernah menolak rencana serupa yang dulu dilontarkan Meneg BUMN saat itu (Sugiharto), namun saya tidak habis pikir apa maksudnya Sofyan Djalil sampai melontarkan kembali rencana itu," kata Muqowam. Menurutnya, pernyataan Sofyan Djalil merupakan kemunduran karena tidak memperhatikan bagaimana sulitnya masyarakat berpennghasilan rendah (MBR) mendapatkan pembiayaan rumah apabila BTN disatukan ke BNI atau BRI. Meneg BUMN seharusnya dapat melihat kemampuan BTN dalam meningkatkan kinerja keuangan serta mengelola dananya sehingga tidak sampai "mismatch", namun di sisi lain tetap dapat memenuhi misinya membiayai KPR bagi MBR, kata Muqowam. "Sebagai gambaran saat ini berapa banyak bank yang bersedia membiayai KPR dengan nilai kurang dari Rp49 juta, bahkan sampai Agustus 2007 sebanyak 97 persen pembiayaan KPR Sederhana masih berasal dari BTN," ujarnya. Muqowam mengatakan apabila BTN sampai diakuisisi, maka praktis tidak akan ada lagi bank yang memperhatikan di sektor perumahan karena saat ini praktis hampir semua bank yang beroperasi merupakan bank devisa. Padahal di luar negeri justru yang berkembang merupakan bank dengan spesialisasi tertentu, seperti di bidang perumahan, agroindustri, serta khusus di bidang infrastruktur. Sedangkan di Indonesia jumlah bank yang fokus dibidang mikro, kecil, dan menengah masih terbatas, ungkap Muqowam. Terkait dengan pernyataan Meneg BUMN tersebut Komisi V akan mengadakan pertemuan dengan anggotanya untuk memberikan pernyataan sikap termasuk memperkuatnya dengan kesimpulan dari rapat sebelumnya terhadap penolakan akuisisi ataupuan merger terhadap BTN. Muqowam mengemukakan Meneg BUMN dalam mengeluarkan kebijakan jangan sekedar mencari keuntungan semata-mata namun mengorbankan pelayanan kepada MBR termasuk dibidang perbankan. Menurut perhitungan Muqowam, dengan kinerja keuangan BTN saat ini yang sangat bagus apabila sampai diakuisisi salah satu dari kedua bank itu, BNI atau BRI, akan membuat kinerja bank tersebut menjadi ikut-ikutan sehat. Muqowam menduga rencana akuisisi ini merupakan akal-akalan agar BRI atau BNI yang mayoritas membiayai sektor korporasi menjadi lebih imbang dengan sektor ritelnya setidaknya 50 persen korporasi dan 50 persen ritel.Pangsa pasarnya berbeda Sedangkan Meneg Pera M. Yusuf Asy`ari mengatakan tidak mungkin untuk menyatukan BTN ke dalam BNI ataupun BRI, karena pangsa pasarnya berbeda sama sekali. Hampir 95 persen pembiayaan BTN ditujukan ke kalangan menengah ke bawah. Sejauh ini, kata menteri, belum ada perbankan nasional yang mampu masuk pasar menengah bawah seperti yang dilakukan BTN, karena memang mereka tidak memiliki kemauan itu. "Tidak bisa kita bayangkan seandainya BTN hilang kemana dana subsidi rumah harus disalurkan," ujarnya. Perbankan nasional sebagian besar membiayai rumah menengah atas, serta selama ini tidak pernah ada yang peduli membiayai Rumah Sederhana Sehat (RSh) dengan nilai kurang dari Rp49 juta, kata Meneg Pera. Bahkan saat ini baru BTN yang menyatakan komitmennya untuk membiayai program pembangunan Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) baik di sisi kredit konstruksi maupun KPR dengan alokasi dana Rp1 triliun, katanya. "Kalau saya boleh bilang ini lagu lama tetapi dilantunkan penyanyi baru," kata Meneg Pera menanggapi pernyataan Meneg BUMN yang mengagetkan pemangku kepentingan (stake holder) di bidang perumahan termasuk kalangan pengembang. Penolakan juga dilontarkan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (DPP REI), Lukman Purnomosidi yang mengatakan, arah kebijakan Meneg BUMN sangat tidak jelas. "Seharusnya kalaupun ada perubahan kebijakan di bidang perbankan seyogyanya pemerintah mempertimbangkan dampaknya bagi kelangsungan pembangunan rumah rakyat," kata Lukman.Menentang atasan Pernyataan keras juga dikemukakan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (DPP Apersi), Fuad Zakaria yang menuding Meneg BUMN telah menentang atasannya yakni Presiden dan Wakil Presiden. "Jelas-jelas Presiden maupun Wakil Presiden mendukung keberadaan BTN sebagai bank yang fokus dibidang perumahan. Namun dengan pernyataan tersebut jelas-jelas meneg BUMN mengingkari amanah yang telah diberikan kepadanya," kata Fuad. Menurut Fuad, pernyataan yang dikemukakan Meneg BUMN menyalahi dari sisi politik karena bertentangan dengan atasannya, sedangkan dari sisi teknis juga tidak ada yang benar. Ia mempertanyakan atas dasar apa Meneg BUMN menyebut BTN tidak sehat. Apabila melihat rasio kredit dibanding deposito (Loan to Deposit Ratio/LDR) BTN mencapai 89 persen lebih atau di atas rata-rata perbankan. Sedangkan anggapan "mismatch" akibat banyaknya pembiayaan jangka panjang, Fuad mengatakan sejauh ini BTN bisa mengelola dananya sehingga tidak mungkin mengalami "mismatch". Kalau disebut BTN membiayai rumah, memang benar bank lain juga banyak yang membiayai. Namun yang dibiayai proyek properti komersial dengan nilai lebih besar sehingga potensi mengalami "mismatch" juga lebih besar, kata Fuad. Apalagi di Indonesia tidak ada bank satupun yang terjun di bisnis pembiayaan perumahan yang tidak mengalami "mismatch". Ini memang karakteristik pembiayaan perumahan seperti itu. Makanya dibentuklah PT Sarana Multigriya Finansial (SMR) oleh pemerintah untuk membantu perbankan mengatasi itu. Fuad justru menuding Meneg BUMN tidak konsisten untuk menggerakkan SMR selaku BUMN yang dibentuk untuk memfasilitasi KPR untuk mengurangi "mismatch" yang dialami perbankan, tambahnya. Fuad mengatakan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam melontarkan pernyataan karena dampaknya akan menimbulkan keresahan di masyarakat apalagi saat ini BTN masih menjadi favorit bagi MBR untuk mendapatkan fasilitas KPR. "Saat ini mana ada bank yang peduli untuk menyalurkan KPR kepada masyarakat yang penghasilannya kurang dari Rp2,5 juta. Hal inilah yang harus dipahami Meneg BUMN sebelum memberikan pernyataan," kata Fuad. Hal senada juga dikemukakan pengamat properti Panangian Simanungkalit yang melihat Meneg BUMN tidak peka terhadap kondisi perbankan saat ini. "Harusnya dia paham saat ini hanya BTN yang peduli dalam membiayai MBR," ujarnya. Menurut Panangian, kewenangan Meneg BUMN seharusnya dibatasi jangan sampai mengganggu rencana Bank Indonesia mewujudkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang salah satunya harus ada bank yang khusus membiayai perumahan. (*)
Copyright © ANTARA 2007