Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawai menjelaskan soal mekanisme pengajuan proposal hibah di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
"Saya jelaskan tentang mekanisme setiap surat dan pengajuan yang bersumber dari masyarakat, tentu mekanisme itu harus mengikuti peraturan undang-undang dan mekanisme yang berlaku di setiap kelembagaan pemerintahan, itu saya sampaikan juga bahwa semua pengajuan surat surat pasti tercatat dengan baik di sekretariat atau di bagian tata usaha," kata Imam di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Imam Nahrawi diperiksa sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait suap penyaluran bantuan dari pemerintah melalui Kemenpora kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) tahun anggaran 2018.
"Semuanya sama, semuanya sama saja, kita berikan dan tentu melewati proses penelaaahan yang begitu mendalam dan diidentifikasi dan seterusnya," tambah Imam.
Imam mengaku tidak membaca langsung setiap proposal hibah yang diajukan kepada Kemenpora.
"Kalau (membaca) itu kan ada pembagian tugas yang jelas menurut undang-undang bahwa ada pengguna anggaran, ada kuasa pengguna anggaran, dan tentu harus dipertanggungjawabkan dengan baik oleh penerima anggaran, penerima bantuan," ungkap Imam.
Sebagai menteri, Imam mengaku punya banyak tugas lain.
"Kalau tugas menteri itu kan tidak hanya soal proposal tapi banyak tugas-tugas lain, maka di situ ada namanya sekretaris kementerian, deputi, asisten deputi. Di situ semuanya sudah dilakukan oleh unit teknis," ungkap Imam.
Ia pun menegaskan hanya menjawab tugas pokok fungsinya sebagai menteri.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus tersebut yaitu sebagai pemberi Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy (EFH) dan Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy (JEA).
Sedangkan sebagai penerima adalah Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana (MUL), Adhi Purnomo (AP) selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Kemenpora serta Eko Triyanto (ET) yang merupakan staf Kementerian Pemuda dan Olahraga.
KPK menduga Mulyana, Adhi Purnomo dan Eko Triyanto menerima pemberian sekurang-kurangnya Rp318 juta dari pejabat KONI terkait hibah pemerintah kapada KONI melalui Kemenpora.
Mulyana menerima uang dalam ATM dengan saldo sekitar Rp100 juta terkait penyaluran bantuan dari pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI Tahun Anggaran 2018.
Sebelumnya Mulyana juga telah menerima pemberian-pemberian lainnya yaitu pada April 2018 menerima satu unit mobil Toyota Fortuner, pada Juni 2018 menerima sebesar Rp300 juta dari Jhonny E Awuy, dan pada September 2018 menerima satu unit ponsel merk Samsung Galaxy Note 9.
Dana hibah dari Kemenpora untuk KONI yang dialokasikan adalah sebesar Rp17,9 miliar.
Menurut KPK, pengajuan dan penyaluran dana hibah sebagai "akal-akalan" dan tidak didasari kondisi yang sebenarnya. Sebelum proposal diajukan, diduga telah ada kesepakatan antara pihak Kemenpora dan KONI untuk mengalokasikan pungutan sebesar 19,13 persen dari total dana hibah Rp17,9 miliar, yaitu sejumlah Rp3,4 miliar.
Dalam pengembangan kasus itu, KPK telah mengidentifikasi peruntukan dana hibah dari Kemenpora ke KONI tersebut akan digunakan untuk pembiayaan pengawasan dan pendampingan atau wasping.
Pembiayaan wasping tersebut mencakup penyusunan instrumen dan pengelolaan "database" berbasis android bagi atlet berprestasi dan pelatih berprestasi tahun jamak atau multi event internasional.
Selanjutnya, penyusunan instrumen dan evaluasi hasil pemantauan dan evaluasi atlet berprestasi menuju SEA Games 2019. Terakhir, penyusunan buku-buku pendukung wasping peningkatan prestasi olahraga nasional.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 18 Desember 2018, tim KPK juga menyita sejumlah barang bukti antara lain uang sebesar Rp318 juta, buku tabungan dan ATM (saldo sekitar Rp100 juta atas nama Jhonny E Awuy yang dalam penguasaan Mulyana), mobil Chevrolet Captiva warna biru milik Eko Triyanto serta uang tunai dalam bingkisan plastik di kantor KONI sekitar sejumlah Rp7 miliar..
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019