Perseteruan antara kaum cebong dan kampret di jagat maya acap menjadi pertunjukan niretika, dimana di antara keduanya saling menafikan peluang kebenaran dari pihak lain.

Melimpahnya informasi dan data dibingkai serta diedit sedemikian rupa untuk memberi keuntungan satu pihak sekaligus menohok pihak yang berbeda.

Seolah, apa pun yang dilakukan oleh kubu sebelah selalu salah, namun benar melulu atas apa yang dilakukan oleh junjungannya. Ungkapan maha benar atas segala yang diucapkan dan dilakukan oleh idolanya bukan lagi sebuah satire, melainkan menjadi jurus untuk menyerang lawan sekaligus bertahan.

Di negara kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat saja fenomena seperti itu terjadi sejak negara itu dipimpin Donal Trump. Konstituen Partai Demokrat selalu mencari keburukan kebijakan Trump yang didukung Republik. Begitu pula sebaliknya.

Polarisasi politik, juga pada dimensi-dimensi lain, sudah demikian menajam sehingga menggiriskan bagi kelangsungan masa depan bangsa.

Demikian pula yang terjadi di Indonesia sejak diumumkan dua pasangan capres-cawapres yang bakal berlaga pada Pilpres 2019.

Warisan perseteruan dalam Pilpres 2014 kemudian berlanjut pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 menyisakan dua kelompok besar yang masih sama, yang kemudian melahirkan dua kelompok dengan sebutan ganjil, yakni cebong dan kampret.

Dalam perjalanan waktu, ada yang dulu cebong bermetamorfosis menjadi kampret, begitu pula sebaliknya. Dalam politik, memang tidak ada cebong atau kampret yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan.

Cebong merujuk konstituen yang memberi dukungan membabi buta pada Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma`ruf Amin (juga Ahok), sedangkan kampret disematkan pada kelompok fanatik pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga S. Uno (juga Anies Baswedan).

Namun, sebutan cebong atau kampret bukan melulu disematkan pada warganet awam, melainkan juga kepada tokoh atau selebritas tersohor yang terang-terangan atau samar memihak salah satu kubu.

Kerunyaman bertambah ketika sejumlah media berpengaruh menjadi bagian dari salah satu kelompok tersebut sehingga konten atau tayangan yang disajikan lebih banyak menjadi corong kepentingan kelompok politik.

Pemilik media yang merangkap menjadi ketua parpol menyebabkan ruang redaksi tidak lagi steril, apalagi sebagian pengasuhnya juga menjadi bagian dari mesin parpol tersebut.

Karena keberpihakan secara mencolok terhadap kelompok politik, kubu sebelah menafikan informasi yang disajikan media partisan tersebut kendati dalam beberapa hal memang faktual dan mengandung kebenaran.

Fanatisme buta itu pula yang menyebabkan mereka mengosongkan kanal televisi tertentu dari remote TV. Sikap membabi buta itu pula yang mendorong mereka menghindari baca laman berita yang dicap hanya menyuarakan kelompok politik tertentu dan menyerang kelompoknya.

Pada akhirnya, konstituen hanya mengonsumsi informasi dari media, baik konvensional maupun media sosial, yang senafas dengan aspirasi politik dan ideologi mereka.

Sikap kritis terhadap setiap informasi yang beredar kian menipis karena larut dalam arus besar keberpihakan pada partai, golongan, tokoh politik, dan ideologi yang setiap hari "digoreng" (dimanipulasi) untuk meraih dukungan elektoral atau melemahkan argumentasi lawan politik.

Yang mencemaskan, hiruk-pikuk dan perseteruan politik tersebut bakal berlangsung lebih panas bersamaan mendekatnya hajat Pemilu dan Pilpres 2019 yang akan digelar pada 17 April mendatang.

Bisa jadi setelah pesta demokrasi tersebut, riak-riak kekecewaan oleh pecundang yang terekspresikan melalui media sosial, masih terus berlangsung dan menunggu momentum politik yang tepat untuk di-blow up sehingga rivalitas tersebut abadi.

Moh. Yasir Alimi dalam buku Mediatisasi Agama, Post Truth, dan Ketahanan Nasional (2018) mengutip Bill Bishop menggambarkan polarisasi yang berpotensi memecah ikatan kebangsaan.

Ketika orang-orang mencari setting sosial yang mereka sukai, bangsa menjadi terpecah-pecah secara politis dan mereka bergerombol dalam komunitas yang berpikiran sama.

Hasilnya adalah makin tingginya intorelansi terhadap perbedaan sikap politik, yang membuat konsensus nasional makin tidak mungkin. Politik begitu terpolarisasi, tidak lagi hanya soal kontes atas politik, tetapi pilihan pahit di antara cara hidup.

Gelombang polarisasi politik tersebut juga melanda Indonesia saat ini. Yasir menilai polarisasi ideologis tersebut berbahaya bagi berfungsinya demokrasi secara sehat.

Karena, dalam keterbelahan seperti itu tidak ada kualitas pembicaraan yang baik untuk menyelesaikan masalah, kecuali saling ejek dan saling nyinyir yang mendominasi di media sosial.

Bishop seperti dikutip Yasir mengingatkan bahwa tren yang berbahaya adalah sebuah pilihan politik bukan lagi hasil pemikiran yang jernih tentang banyak hal yang berkaitan dengan bangsa dan negara, melainkan lebih merupakan afirmasi terhadap kelompok ideologis daripada merupakan ekspresi warga negara.

Bahaya dari kelompok yang berpikir sama adalah menjadi ekstrem. Kelompok ini tidak hanya menjadi makin partisan, tetapi juga menjadi tidak peduli apakah argumen mereka benar atau salah. Bila dibuktikan bahwa yang diyakini itu salah, mereka tidak peduli.

Kontestasi politik sejatinya suatu metode beradab untuk mencari dan menghasilkan pemimpin terbaik dalam sistem demokrasi.

Namun, rivalitas yang berkembang sejauh ini tidak hanya menyerang ide, program, atau kebijakan, tetapi menyerbu apa saja yang dianggap menguntungkan kubunya.

Hal-hal privat diumbar ke khalayak ramai tanpa ada sangkut-pautnya dengan kompetensi seseorang dalam jabatan publik. Politik identitas juga kian mengeras untuk menyerang lawan politik.

Kian sulit

Dalam situasi tersebut, bangsa ini membutuhkan sosok yang mampu meredam kebisingan politik yang berpotensi membelah ikatan kebangsaan ini. Akan tetapi, mencari sosok-sosok ideal seperti itu kian sulit.

Sikap independen atau netral tampaknya tidak memiliki ruang yang cukup di tengah ingar-bingar partisanisme. Kalau pun ada, suaranya terlalu lirih sehingga tidak mendapat panggung di media.

Dahulu, tokoh agama berpengaruh sering dimasukkan dalam sosok peredam kebisingan itu, namun belakangan ini terlalu banyak yang masuk kelompok yang sekarang berlaga dalam Pilpres 2019.

Kaum intelektual yang seharusnya bersemayam di menara gading, secara berjamaah turun gunung untuk membela jagoannya masing-masing.

Begitu pula sosok negarawan atau tokoh yang menyandang gelar bapak bangsa, kini juga tidak steril dari prasangka sebutan cebong atau kampret.

Oleh karena itu, yang bisa meredam kebisingan nan merisaukan itu, ya, para elite politik sendiri. Setidaknya mereka tidak terus-menerus memproduksi isu, gosip, bahkan hoaks yang memicu kontroversi hingga akar rumput dan warganet. Apa yang diwacanakan bukan lagi "voice" (aspirasi), melainkan "noise" (kebisingan).

Pertaruhannya terlalu mahal manakala potensi keterbelahan tersebut terus dibiarkan.*


Baca juga: Survei: basis pemilih di koalisi Jokowi-Ma'ruf tidak solid

Baca juga: Advokat publik sebut golput sebagai bentuk protes


Pewarta: Achmad Zaenal M
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019