"Bahwa adanya kata nasional'setelah frasa bencana alam menyebabkan hukuman mati, hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan bencana alam, yang mendapatkan status bencana alam nasional oleh pemerintah pusat," ujar kuasa hukum pemohon, Yohanes Mahatma Pambudianto di Gedung MK Jakarta, Selasa.
Pemohon berpendapat status bencana alam kemudian terkesan melindungi koruptor untuk tidak memiliki rasa takut melakukan korupsi di wilayah yang sedang terkena bencana alam, sepanjang bencana tersebut tidak mendapat status bencana alam nasional.
"Padahal yang menjadi penderita dalam setiap kejadian bencana alam tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan pemenuhan hak yang menjadi tanggung jawab dari negara," kata Yohanes.
Hal itu kemudian dinilai pemohon sebagai dasar bahwa tidak ada pembedaan atas derita yang dialami oleh masyarakat yang terkena bencana alam, baik berstatus bencana alam nasional maupun tidak.
Pemohon berargumen bahwa sanksi pidana hukuman mati seharusnya diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam, terlepas ditetapkan berstatus nasional atau tidak.
Selain itu kata nasional juga dianggap pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena akhirnya penentuan terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku kejahatan korupsi, bergantung pada status yang secara subjektif diberikan oleh presiden.
Berdasarkan hal tersebut, pemohon meminta MK menyatakan kata nasional setelah frasa bencana alam dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca juga: Kata Alpha: koruptor dihukum mati saja
Baca juga: Ulama NU rekomendasikan hukuman mati untuk koruptor
Baca juga: Abraham Samad: hukum mati pejabat tinggi korup
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019