Markas Besar PBB, New York (ANTARA News) - Indonesia menyatakan tidak puas terhadap alasan Myanmar atas ketegangan dan kekerasan yang terjadi pada unjuk rasa biksu di negeri itu, yang dilaporkan telah menewaskan setidaknya 13 orang. Indonesia menganggap bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh para biksu di Myanmar bukan dipicu adanya kenaikan bahan bakar melainkan karena makin terungkapnya masalah mendasar di Myanmar, yaitu proses demokratisasi yang cacat. "Kalau puas, pernyataan Menlu ASEAN memuji Myanmar," cetus Menlu Hassan Wirajuda, yang ditemui di sela-sela serangkaian pertemuan bilateral dengan mitra-mitranya di Markas Besar PBB, New York, Jumat. Hassan menjawab pertanyaan apakah Indonesia puas dengan penjelasan yang diberikan Menteri Luar Negeri Myanmar Nyan Win dalam pertemuan para menteri 10 negara ASEAN yang berlangsung satu hari sebelumnya di Gedung PBB. Pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan tertulis bahwa para Menlu ASEAN sangat terkejut dengan kekerasan yang terjadi di Myanmar, yaitu dengan digunakannya senjata api otomatis terhadap para demonstran hingga menyebabkan jatuhnya korban. Pernyataan itu meminta junta militer Myanmar untuk segera menghentikan tindakan kekerasan. Para Menlu ASEAN juga menyatakan bahwa perkembangan di Myanmar telah memberikan dampak serius terhadap nama baik dan kredibilitas ASEAN. Penjelasan Menlu Myanmar bahwa demonstrasi di negara tersebut terjadi karena dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar, dilihat Indonesia sebagai alasan yang kurang masuk akal. "Kalau alasan yang digunakan itu karena kenaikan harga minyak, saya yang mengatakan: saya tidak percaya. Ini sesuatu yang terkait dengan hal yang sangat fundamental, yaitu proses demokratisasi yang cacat," kata Menlu Hassan Wirajuda. "Kalau dilihat harga minyak, biksu kan bukan kelompok yang paling terpengaruh. Mereka orang sederhana, tidak punya mobil, ke mana-mana berjalan kaki. Pasti ada sesuatu, kelompok rohaniwan seperti itu melakukan gerakan yang bahkan dengan resiko kematian," cetusnya. Menurutnya, demonstrasi itu dipicu karena kehidupan masyarakat yang tertekan dan sudah cukup lama tidak melihat prospek perubahan yang tepat selama 19 tahun berada di bawah pemerintahan junta militer. Pemerintah Myanmar menganggap proses demokratisasi di negara tersebut sudah mulai berhasil, yaitu dengan rampungnya rancangan konstitusi, yang hanya tinggal menunggu pengesahan. "Tapi kan bukan soal format, bentuk rancangan. Masalahnya, apakah rancangan itu aspiratif? Aspiratif tidaknya kan bisa dilihat dari siapa yang berpartisipasi dan tidak berpartisipasi dalam proses. Itu yang saya katakan sebagai proses demokratisasi yang cacat," jelas Hassan. Kendati Indonesia dan ASEAN tidak puas terhadap bagaimana pemerintah Myanmar menangani masalah demonstrasi, ASEAN menyiratkan saat ini tidak berniat untuk membawa masalah Myanmar ke Dewan HAM PBB. "Kalau itu kan inisiatif yang bisa saja dilakukan oleh pihak lain, tanpa ASEAN harus mendulang air, memercik mukanya sendiri... Kita harus menghitung, saya katakan dilematis karena Myanmar seasama negara ASEAN, apakah elok kalau kita lalu berada di forum yang paling depan," kata Hassan. Sementara itu, kendati situasi di Myanmar memanas, Menlu mengatakan pihaknya belum berencana untuk menarik staf perwakilan RI dari negara tersebut. "Sejauh ini belum ada rencana penarikan staf. Karena dalam situasi yang kritis, justru kita memerlukan kehadiran staf, mengamati dengan dekat perkembangan yang terjadi di lapangan," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007