"Karena itu syarat, begitu juga seperti orang (lain) diberi grasi. Ini sekarang harus dikaji aspek hukumnya dan kesediaan beliau untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, seperti taat kepada NKRI. Itu syarat-syarat yang biasa-biasa saja sebenarnya," kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa.
Apabila Ba'asyir enggan menyatakan kepatuhannya kepada Pancasila maka keputusan hukum pembebasannya dapat berisiko di kemudian hari.
"Kalau tidak memenuhi aspek-aspek hukum, tentu yang minimal itu, agak sulit juga. Nanti di kemudian hari orang (bisa) gugat," tambah JK.
JK pun menegaskan Pemerintah tidak akan longgar dalam memberlakukan mekanisme hukum untuk pembebasan pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid tersebut sehingga pernyataan setia kepada ideologi Pancasila itu menjadi syarat mutlak untuk pembebasan Ba'asyir.
"Tentu tidak mungkin satu orang ini kemudian dibikinkan peraturan, untuk satu orang, tidak bisa lah. Harus bersifat umum peraturan itu," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo membenarkan kabar bahwa dirinya akan memberikan pengampunan kepada terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir.
Presiden menyebut alasannya membebaskan Ba'asyir antara lain karena aspek kemanusiaan semata, yakni usia Ba'asyir yang semakin tua dan sakit-sakitan.
"Ya, yang pertama memang alasan kemanusiaan, artinya beliau kan sudah sepuh; ya pertimbangannya pertimbangan kemanusiaan, karena sudah sepuh. Termasuk ya tadi, kondisi kesehatan," kata Presiden usai mengunjungi Pondok Pesantren Darul Arqam di Garut, Jawa Barat, Jumat (18/1).
Kabar pembebasan Ba'asyir muncul pertama kali dari unggahan penasihat hukum pasangan Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra, pada akun Instagram @yusrilihzamhd.
Keputusan tersebut mendapat reaksi kontra dari sejumlah kalangan karena dikhawatirkan Ba'asyir masih memiliki efek di kalangan jamaah yang se-ideologi dengan dia.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2019