"Pemohon tidak memiliki hak atau kewenangan konstitusional dalam pengujian pasal dalam UndangUndang Telekomunikasi terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," ujar Anwar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin.
Anwar mengatakan hal tersebut ketika memberikan keterangan selaku perwakilan pihak DPR RI dalam sidang uji materi Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 36/1999 (UU Telekomunikasi) terkait dengan kewenangan penyadapan.
Anwar menjelaskan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UndangUndang Telekomunikasi mengatur kewenangan penyelenggara jasa telekomunikasi untuk dapat merekam informasi dan atau memberikan informasi yang diperlukan, hanya berdasarkan permintaan tertulis jaksa agung dan atau kapolri serta penyidik untuk keperluan proses peradilan tindak pidana tertentu.
Sementara itu pemohon yang berprofesi sebagai penerjemah dan pada saat ini berstatus sebagai terdakwa dalam tindak pidana narkotika, dinilai DPR pemohon bukan merupakan pihak yang memiliki wewenang berdasarkan pasal tersebut.
"Atas dasar itu, ketentuan pasal tersebut telah memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil di dalam proses peradilan pidana, dan pasal tersebut sama sekali tidak ada keterkaitan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," ujar Anwar.
Selain itu DPR juga berpendapat bahwa tidak ada hak atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan akibat berlakunya ketentuan tersebut.
Pemohon juga dinilai tidak dapat menjelaskan kerugian konstitusionalitas yang bersifat spesifik, aktual dan potensial akan dialami pemohon akibat keberlakuan pasal tersebut.
Karena DPR menilai tidak ada implikasi atau pengaruh apa pun yang akan terjadi kepada pemohon dengan dikabulkannya permohonan tersebut, maka DPR meminta Mahkamah Konstitusi untuk tidak mempertimbangkan pokok perkara dan menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima.
Pemohon dari perkara ini adalah terdakwa kasus tindak pidana narkotika yang merasa dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 36/1999.
Ketentuan tersebut memberikan batasan subjek yang dapat meminta rekaman percakapan yang hanya terbatas pada Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan penyidik untuk tindak pidana tertentu telah menjadikan pemohon sebagai seorang yang menyandang status terdakwa tidak dapat mengajukan sendiri bukti rekaman percakapan untuk kepentingan pembelaan di persidangan.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019