Jakarta (ANTARA News) – Pesawat terbang sebagai moda transportasi harus diakui tetap menjadi favorit bagi masyarakat. Selain dapat menjelajah jarak ribuan kilometer dalam hitungan jam, bepergian dengan pesawat dinilai lebih efisien dan aman dibanding transportasi lainnya.
Jika di masa lalu ada anggapan hanya orang kaya yang bisa terbang karena biayanya mahal, kini berubah. Bandara-bandara di seluruh Indonesia kini seakan seperti terminal bus penumpang, karena orang-orang berjejal naik si “burung besi”.
Namun, dalam tiga pekan terakhir Januari 2019 publik dihebohkan oleh kenaikan harga tiket yang diberlakukan seluruh maskapai di Tanah Air.
Meskipun libur panjang Natal 2018 dan Tahun Baru 2019 yang merupakan musim puncak (peak season) penerbangan sudah berlalu, namun harga tiket tidak kunjung turun. Bahkan ada tarif tiket yang melonjak lebih dua kali lipat dibanding beberapa bulan sebelumnya.
Sejumlah kalangan langsung mencurahkan rasa keberatannya melalui media sosial. Bahkan ada yang menyampaikannya dalam bentuk petisi melalui change.org yang direspon oleh ribuan warga.
Salah satu protes itu disampaikan Ardi, warga Padang, Sumatera Barat. Ia mengeluhkan harga tiket rute Padang-Jakarta yang dibanderol maskapai penerbangan ber biaya rendah sebesar Rp1.134.000 untuk penerbangan 1 jam 50 menit. Padahal dalam kondisi normal sebelumnya hanya berkisar Rp700.000 per penumpang.
Anehnya ujar Ardi, ada maskapai untuk rute Padang-Jakarta transit di Kuala Lumpur dengan lama penerbangan 7 jam 45 menit malah harga tiketnya hanya Rp1.124.000 atau lebih murah dari penerbangan langsung.
"Masa saya mau ke Jakarta karena ingin murah harus lewat Malaysia dulu, mesti punya paspor dulu, ini kan sudah tidak masuk akal secara logika," ujar Ardi.
Keluhan juga disampaikan warga di wilayah Indonesia Timur, di mana saat ini harus merogoh kantong lebih dalam bahkan bisa mencapai puluhan juta untuk penerbangan di sejumlah rute domestik.
Tidak hanya masyarakat yang tedampak dari kenaikan tiket pesawat. Dunia usaha yang menjadi tulang panggung perekonomian juga mulai merasakan dampak negatif dari fenomena melonjaknya harga tiket pesawat.
Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (ASITA) mengeluhkan pesanan tiket pesawat sudah anjlok hingga 50 persen.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Batam, Mansur, mengatakan tingkat hunian hotel di kota itu turun hingga 50 persen sejak awal 2019.
Pelancong domestik lebih memilih langsung ke Singapura, tanpa singgah di Batam karena harga tiket pesawat yang lebih murah.
Imbas dari melonjaknya tiket pesawat juga tercermin dari penurunan jumlah penumpang di Bandara SSK II, Pekanbaru.
“Telah terjadi penurunan penumpang sebesar 15 persen. Tercatat sejak 1 Januari 2019, sebanyak 235 penerbangan yang dibatalkan,” ujar Executive General Manager Bandara SSK II, Pekanbaru Jaya Tahoma Sirait.
Respon regulator
Merebaknya keluhan masyarakat dan dunia usaha akibat kenaikan harga tiket pesawat, langsung direspon oleh Kementerian Perhubungan sebagai regulator pada industri penerbangan.
Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan, harga tiket pesawat saat ini masih sesuai ketentuan karena masih di bawah batas atas. Kalaupun tarif terkesan tinggi itu karena sebelumnya maskapai kerap melakukan perang tarif.
Budi Karya langsung mengumpulkan para direksi maskapai penerbangan untuk menurunkan harga tiket yang saat ini mereka terapkan.
Gayung bersambut. Maskapai-maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) meresponnya dengan menurunkan harga tiket pesawat mulai dari 20 persen hingga 60 persen, tergantung rute penerbangan.
“Jadi yang kami lakukan variatif, nanti kami cek absolutnya. Jadi sampai hingga 50-60 persen, ada yang tertinggi seperti itu. Yang pasti di atas 20 persen sampai 60 persen,” kaya Ketua Umum INACA, I Gusti Ngurah Akshara Danadiputra, yang juga menjabat Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (Persero).
Namun, dalam merealisasikan penurunan tiket tersebut maskapai ingin ada kerja sama dengan pihak terkait dalam industri penerbangan, yaitu Angkasa Pura, Airnav Indonesia dan Pertamina.
Sinergi dengan Angkasa Pura sebagai pengelola bandara, Airnav sebagai pengatur lalu-lintas penerbangan dan Pertamina sebagai pemasok bahan bakar avtur.
Tingginya harga avtur jadi faktor utama para maskapai menaikan harga tiketnya, pasalnya biaya operasional sebuah maskapai didominasi pembelian bahan bakar yang mencapai 40-50 persen dari total struktur biaya.
Pesannya, jika Pertamina bisa menurunkan harga avtur para maskapai juga bisa menurunkan harga tiket pesawatnya.
"Saya tidak memaksa Pertamina. Kalau Pertamina bisa menurunkan kami juga akan menurunkan," Dirut Garuda I Gusti Ngurah Akshara Danadiputra.
Meski ada permintaan maskapai menurunkan avtur, namun Direktur Utama PT Pertamina (persero) Nicke Widyawati menyatakan tidak bisa sembarangan mengubah harga avtur. Menurut dia, perlu hitungan matang sebelum melakukan perombakan harga avtur.
"Avtur ini kan hitungan bisnis, jadi kami mengatakan tidak bisa merombak harga, Pertamina harus mengitung biayanya dulu," ujar Nicke.
Harga avtur yang dijual Pertamina dinilai masih kompetitif. Namun, dia mengakui harga avtur Pertamina menjadi sedikit lebih mahal dari pada Singapura, karena Singapura memang memberikan rate yang spesial.
Tiket vs kinerja
Di satu sisi masyrakat menginginkan tiket pesawat murah, namun di sisi lain maskapai penerbangan tetap harus memperhitungkan kelanjutan perusahaan ke depan.
Sejumlah maskapai mengaku sulitnya kondisi penerbangan saat ini. Biaya operasional terus membengkak terutama dipicu harga avtur dan ditambah nilai tukar rupiah yang masih melemah terhadap dollar AS.
Harga rata-rata avtur sepanjang 2017 tercatat sebesar 55,1 sen dolar AS per liter, melonjak 19 persen menjadi 65,4 sen per dolar AS per liter sepanjang 2018. Kenaikan satu sen per liter avtur akan menambah biaya operasi 4,7 juta dolar AS dalam satu tahun penuh.
Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo mengatakan sebagian besar biaya operasional dalam bentuk dolar AS, sementara pendapatan dalam bentuk rupiah.
"Setiap penurunan rupiah sebesar Rp100, akan mengurangi pendapatan maskapai 5,3 juta dolar AS dalam setahun," katanya.
Dugaan kartel
Polemik soal tarif tiket penerbangan ternyata sempat menimbulkan dugaaan praktik kartel antara sesama perusahaan penerbangan.
Aroma dugaan kartel terindikasi dari beberapa hal, mulai dari kebijakan kenaikan dan penurunan tarif pesawat yang dilakukan secara bersama-sama oleh para maskapai.
Indikasi lainnya, struktur industri yang tidak sehat, dimana kalau maskapai berdalih menaikkan harga tiket karena masalah avtur dan beban operasional tinggi seharusnya sudah ditempuh sejak lama, bukan setelah harga minyak dan rupiah tengah stabil.
Selain itu, dugaan kartel terjadi karena jumlah pemain dalam industri penerbangan yang hanya dikuasai oleh dua grup besar, yaitu Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air) dan Lion Air Group.
Namun dugaan kartel tersebut masih didalami Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
"Ini masih indikasi. Kalau nanti menjadi fakta dan data, bisa saja, tidak menutup kemungkinan dilakukan proses lidik," kata Komisioner KPPU Afif Hasbullah.
Bila naik turun ini benar mengarah ke kartel, maka perlu ditindaklanjuti. Sebab, kartel tidak dibenarkan oleh Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.*
Baca juga: Fenomena warga Aceh transit ke Kuala Lumpur
Baca juga: Harga tiket pesawat dan industri wisata
Baca juga: Dilema maskapai naikkan tarif penerbangan
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019