Banda Aceh, 20/1 (ANTARA News) - Memasuki awal tahun 2019, masyarakat di Aceh dihebohkan dengan fenomena tingginya harga tiket pesawat untuk rute domestik, dibandingkan rute internasional.
Bayangkan saja harga tiket tadinya Rp1,5 juta, kini dijual Rp3 juta untuk tujuan penerbangan ke Jakarta. Harga ini jauh lebih murah bila penerbangan transit ke bandara di Kuala Lumpr di negara jiran Malaysia, karena harganya tidak sampai Rp1 juta.
Kantor Imigrasi Kelas I Banda Aceh menyatakan, permohonan paspor bagi mereka berpergian ke luar negeri meningkat drastis sejak awal Januari 2019, menyusul harga tiket pesawat rute domestik terlalu tinggi.
"Berdasarkan hasil wawancara dan amatan petugas, salah satu keperluan permohonan paspor adalah untuk keperluan transit di suatu negara sebelum masuk kembali ke dalam negeri," kata Kasi Lalu Lintas Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Banda Aceh, Muhammad Hatta.
Ia menjelaskan, terjadi peningkatan permohonan pengurusan paspor dari masyarakat di Banda Aceh dan sekitar, tepatnya sejak tanggal 3 Januari, yakni dari rerata 130 sampai 150 per hari menjadi 200 paspor per hari.
"Rata-rata permohonan paspor per hari selama Januari sebanyak 200," katanya.
Khaidir (45), warga Aceh Besar mengaku, dirinya memilih terbang menggunakan rute Banda Aceh-Kuala Lumpur-Jakarta, karena harga tiket jauh lebih murah dibanding Banda Aceh-Medan-Jakarta maupun Banda Aceh-Jakarta.
"Kami lebih memilih transit ke Malaysia untuk menuju Jakarta sebab harga tiket lebih murah," katanya.
Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Aceh mengaku, lebih merasakan dampak negatif dari penjualan tiket pesawat domestik akibat banyaknya konsumen memilih terbang ke luar negeri walau tujuan mereka ke Jakarta.
"Iya, pasti berpengaruh. Itu berpengaruh terhadap aktivitas anggota ASITA sendiri dalam menjalankan usahanya di Aceh," kata Sekretaris ASITA Aceh, Totok Julianto.
Meski pihaknya belum melakukan gerakan, seperti mogok massal dengan tidak menjual tiket pesawat domestik wilayah setempat yang sudah dinyatakan oleh ASITA Riau. ASITA Aceh masih menunggu arahan dari induk organisasi tersebut.
Kini mayoritas penduduk di provinsi berjuluk "Serambi Makkah" ini, lebih memilih terbang ke Jakarta melalui bandar udara (bandara) Kuala Lumpur dengan transit selama beberapa jam di Malaysia.
"Tapi kita belum catat berapa persen terjadi penurunan calon penumpang yang membeli tiket dari anggota kita. Sebab mereka yang terbang ke Kuala Lumpur mayoritas gunakan `online`," kata Totok.
Mecari Tiket Murah
Pengamat dari dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Syamsul Rijal, MAg menilai kondisi ini dapat memantik kembali antinasionalisme yang sebenarnya mulai terpupuk pascakonflik berkepanjangan.
"Seharusnya pemerintah melihat ini sebagai cikal bakal lahirnya krisis nasionalisme di Aceh. Kita sebenarnya tak persoalkan harga tiket, tetapi jika ini dibiarkan, akan lebih cinta negeri orang (Malaysia) ketimbang Indonesia sendiri," katanya.
Guru besar UIN itu menyatakan, betapa sulitnya masyarakat Aceh ingin mengakses ibu kota yang notabene di negeri sendiri. Sementara negeri tetangga memberikan fasilitas murah, dan terjangkau untuk semua kalangan di Aceh.
"Pemerintah harus sadar ini, bukan soal angka mahalnya tiket. Tetapi ini bakal memunculkan krisis nasionalisme. Mengapa susah di negeri sendiri, ya," ujarnya.
Syamsul Rijal yang juga pembina Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) ini menilai Pemerintah selama ini abai terhadap apa yang menjadi hajat hidup orang Aceh.
Masyarakat, misalnya, diminta tidak berobat ke luar Aceh karena layanan medis di Indonesia juga tidak kalah hebat.
"Tetapi rakyat akan hitung-hitungan juga. Ini sinyal tidak baik jika dibiarkan berlarut. Apalagi ini tahun politik, kita pernah beli pesawat untuk negara ini. Mengapa kini jadi lebih menderita? Pesan ini bisa 'digoreng' ke sana-kemari," katanya.
Pemerhati transportasi di Aceh itu mengatakan, hingga kini baru maskapai Garuda Indonesia yang menurunkan harga tiket penerbangan domestik di rute Banda Aceh-Jakarta hampir 50 persen dan harga termurahnya sempat menyentuh Rp1,6 juta.
"Hanya Garuda Indonesia yang benar-benar menurunkan tarif hampir separuh dari harga awalnya Rp3 juta per kursi," ucap pemerhati transportasi di Aceh, Zainal Abidin.
Otoritas Bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh Besar menyebutkan terdapat empat operator yang melayani rute domestik dengan frekuensi delapan kali, dan satu maskapai asing di rute internasional, yakni Kuala Lumpur-Banda Aceh pergi pulang sedikitnya satu kali per hari.
Keempat operator domestik itu, yakni Garuda Indonesia, Batik Air, Citilink, dan Lion Air. Hingga kini mereka belum membuka harga tiket termurah alias tarif batas bawah baik rute penerbangan ke Medan maupun langsung ke Jakarta.
Mayoritas operasional maskapai di Aceh berlindung pada Peraturan Menteri Nomor Perhubungan No.14/2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Tarif Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
"Tapi kita tahu siapa yang naik Garuda, yakni kalangan birokrat atau pejabat yang notabene jika tiket tersebut mahal atau murah tetap dibayar oleh institusi mereka," kata Zainal yang menjabat Ketua Lembaga Riset, Pelatihan, dan Publikasi Publik Natural Aceh.
Kini harga tiket penerbangan domestik, seperti Banda Aceh-Jakarta dijual dengan harga di atas Rp2,3 juta.
"Dalam beberapa bulan ke depan, rakyat Aceh akan punya dua mata uang didompetnya, yakni rupiah dan ringgit. Kalau sudah seperti itu, di mana wibawa pemerintah," ujar Zainal.
Faktor rupiah
Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo mengatakan biaya operasional sebagian besar dalam bentuk dolar AS, sementara pendapatan dalam bentuk rupiah.
"Pada 2018, Citilink sangat berat mencari keuntungan," katanya.
Harga rata-rata avtur sepanjang 2017 sebesar 55,1 sen dolar AS per liter dan melonjak 19 persen menjadi 65,4 sen per dolar AS per liter sepanjang 2018.
"Kenaikan satu sen per liter akan menambah biaya operasi 4,7 juta dolar AS dalam satu tahun penuh," katanya.
Kemudian, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah yang menyebabkan biaya operasional semakin membengkak.
"Setiap penurunan Rp100, karena kurs yang rupiah melemah, akan mengurangi pendapatan 5,3 juta dolar AS dalam setahun," katanya.
Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara menambahkan, sebanyak 40-45 persen biaya operasional adalah biaya avtur dan sewa pesawat 20 persen dan 10 persen untuk biaya pegawai.
"10 persen ada biaya pegawai yang harus dikasih makan, dari Garuda sendiri 10.000 pegawai, Citilink 2.000, Sriwijaya 4.500. Ini yang masuk dalam komponen biaya kami," katanya.
Wakil Presiden (Wapres) M Jusuf Kalla mengatakan kenaikan tarif tiket pesawat antara lain disebabkan oleh penyesuaian kurs mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah, sehingga berpengaruh pada biaya perawatan dan pembelian bahan bakar.
"Kita juga mengetahui bahwa mereka (maskapai) membayar (dengan) dolar, membeli pesawat dengan dolar, membeli avtur dengan dolar, tapi tarifnya (tiket) rupiah. Maka, mau tidak mau harus ada penyesuaian-penyesuaian secara bertahap," kata wapres.
Penyesuaian tarif tiket pesawat tersebut harus dilakukan agar kegiatan operasional perusahaan penerbangan tetap berjalan di tengah penguatan kurs dolar AS terhadap rupiah.
Apabila tarif tiket pesawat tetap murah, lanjut Wapres, maka hal itu dapat berdampak pada lesunya industri maskapai sehingga berakibat pada bangkrutnya perusahaan penerbangan.
"Karena kalau tidak (disesuaikan), bisa saja kita nikmati hari ini begitu banyak pesawat terbang, tapi kita tahu juga berapa perusahaan nanti akan bangkrut," ujarnya.
Dampaknya, perusahaan penerbangan di Indonesia akan dikuasai oleh maskapai tertentu saja. Sehingga, hal itu pun dapat berakibat pada kenaikan tarif tiket pesawat.
Di sisi lain, selama maskapai domestik tidak menekan harga rute penerbangan dari dan ke Banda Aceh, maka fenomena transit ke Kuala Lumpur akan terus terjadi.*
Baca juga: Harga tiket pesawat dan industri wisata
Baca juga: Dilema maskapai naikkan tarif penerbangan
Baca juga: Dibalik mahalnya avtur untuk penerbangan
Pewarta: Muhammad Said
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019