Setiap penurunan 100 basis poin, karena kenaikan kurs melemah, dia akan mengurangi pendapatan kita setahun penuh 5,3 juta dolar AS
Jakarta (ANTARA News) - Tahun Baru 2019, masyarakat dikejutkan dengan kenaikan harga tiket pesawat yang dianggap tidak wajar.
Jagad internet juga semakin dihebohkan dengan unggahan tangkapan layar di aplikasi pemesanan tiket, yakni tiket Aceh-Jakarta melalui Kuala Lumpur, Malaysia, jauh lebih murah (Rp879.000) dari pada penerbangan langsung Aceh-Jakarta (Rp2,9 uta).
Kondisi tersebut mendorong regulator, dalam hal ini Kementerian Perhubungan mengambil langkah, yakni meminta Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Inaca) untuk menurunkan harga tiket.
Akhirnya, pada Jumat (11/1) dihasilkan kesepakatan bahwa seluruh maskapai menurunkan harga tiket pesawat 20-60 persen dibantu dengan keringanan sejumlah tarif, baik dari operator bandara, yakni PT Angkasa Pura I dan II serta penundaan kenaikan tarif jasa navigasi penerbangan Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI/Airnav Indonesia) serta Pertamina.
Sejumlah rute penerbangan yang dikatakan telah mengalami penyesuaian harga tiket, di antara Jakarta-Denpasar, Jakarta-Jogja, Jakarta-Surabaya, Bandung-Denpasar dan akan dilanjutkan dengan rute penerbangan domestik lainnya.
Ketua Umum Inaca Ari Askhara mengaku meskipun hal itu sulit, namun keberlangsungan industri penerbangan harus tetap terjaga.
"Di tengah kesulitan para maskapai kami tetap paham dan mengerti akan kebutuhan masyarakat dan kami memastikan komitmen memperkuat akses masyarakat terhadap layanan penerbangan nasional serta keberlangsungan industri penerbangan nasional tetap terjaga," kata Ari.
Ari menambahkan seluruh anggota Inaca serta seluruh jajaran terkait pemangku kepentingan layanan penerbangan nasional seperti pengelola bandara, badan navigasi, hingga pemangku kepentingan lainnya telah melaksanakan pembahasan intensif terkait penurunan struktur biaya pendukung layanan kebandara udara dan navigasi agar dapat selaras dengan mekanisme pasar industri penerbangan dan daya beli masyarakat.
Menaggapi hal itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengapresiasi sikap kedewasaan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Indonesia atau Indonesia National Air Carrier Association (INACA) yang menurunkan tarif tiket penerbangan.
"Saya mengapresiasi Inaca yang dewasa, memberikan satu cara agar masyarakat tidak resah," ujarnya.
Sebetulnya, menurut Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti, kenaikan tarif pesawat tidak keluar dari tarif batas sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan Dan Penetapan Tarif Batas Atas Dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga berjadwal Dalam Negeri.
Penyesuaian tarif dilakukan, kata dia, untuk menciptakan iklim yang kondusif di masyarakat, meskipun maskapai terus ditekan oleh harga avtur yang melonjak dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di mana sebagian besar digunakan untuk pengeluaran biaya perusahaan.
"Ini ada karena mempertimbangkan keluhan masyarakat," katanya.
Untuk itu, Kemenhub berkoordinasi dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PT Angkasa Pura I dan II untuk memberikan potongan tarif, kemudian Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau Airnav Indonesia untuk menunda kenaikan jasa navigasi serta dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk berkoordinasi terkait harga avtur kepada PT Pertamina.
"Paling berat itu avtur, kami berkoordinasi Kementerian dan Lembaga, yaitu dengan Kementerian ESDM dengan Pertamina karena kami enggak punya kewenangan," katanya.
Belum Direvisi
Polana menjelaskan bahwa sejak 2016 hingga 2019, PM 14/2016 yang mengatur tarif batas atas dan bawah penerbangan komersil belum direvisi, yakni tarif batas bawah 30 persen dari tarif batas atas.
Sementara itu, harga avtur terus melonjak dan nilai tukar rupiah semakin melemah yang menyebabkan komponen biaya operasional maskapai membengkak di mana biaya untuk bahan bakar memakan 30-40 persen dari struktur biaya operasional.
"Karena itu naiknya sudah kumulatif sudah sampai 70 persen, kalau dalam regulasi, kita bisa melakukan revisi, sekarang sudah sekitar 30-40 persen nilai tukar rupiah ke dolar AS dari Rp11.000 sekarang Rp15.000," katanya.
Berbulan yang lalu waktu lalu, Kemenhub telah menyerahkan usulan Inaca terkait kenaikan tarif batas bawah lima persen, yakni menjadi 35 persen dari 30 persen dari tarif batas batas ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, namun usulan itu masih tertahan.
Lebih jelas lagi, Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo memaparkan keuntungan yang hilang diakibatkan gejolak tarif avtur dan nilai tukar rupiah.
Hal itu dikarenakan alokasi untuk operasional biaya operasional sebagian besar dalam bentuk dolar AS, sementara pendapatan yang masuk dalam bentuk rupiah.
Dia menjelaskan harga rata-rata avtur sepanjang 2017 itu 55,1 sen dolar AS per liter dan melonjak 19 persen menjadi 65,4 sen per dolar AS per liter sepanjang 2018.
"Kenaikan satu sen per liter itu akan menambah biaya operasi 4,7 juta dolar AS satu tahun penuh," katanya.
Kemudian, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah yang menyebabkan biaya operasional semakin membengkak.
"Setiap penurunan 100 basis poin, karena kenaikan kurs melemah, dia akan mengurangi pendapatan kita setahun penuh 5,3 juta dolar AS," katanya.
Sehingga, Juliandra mengatakan pembengkakan biaya operasional akibat kenaikan harga avtur dan pelemahan nilai tukar rupiah, sebesar 13,5 persen atau 102 juta dolar AS. "Ini cukup berat," katanya
Karena itu, dia mengeluarkan kebijakan agar harga tiket tidak berada di dasar tarif batas dan menghilangkan diskon untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan.
Di sisi lain, Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara menuturkan sejak 2016, yakni di mana Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Tarif Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri tidak berubah.
Adapun, sebanyak 40-45 persen biaya operasional adalah biaya avtur dan sewa pesawat 20 persen dan 10 persen untuk biaya pegawai.
"10 persen ada biaya pegawai yang harus dikasih makan, dari Garuda sendiri 10.000 pegawai, Citilink 2.000, Sriwijaya 4.500, jadi ini masyarakat yang perlu kami biayai dan masuk dalam komponen biaya kita," katanya.
Kenaikan Bertahap
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengimbau maskapai seharusnya menaikkan tarif secara bertahap tidak sekaligus, sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan di sisi konsumen.
Selain itu, bukan hanya pertimbangan ekonomis, menurut dia, maskapai perlu mempertimbangkan sisi psikologis.
"Maskapai gagal memahami psikologis konsumen. Bukan semata-mata tidak melanggar besaran tarif tapi memang ada hal yang perlu diperhatikan. Sama ketika pemerintah mencabut subsidi BBM, konsumen juga terkejut, kan engga enak," katanya.
Selain itu, Tulus juga menyarankan kenaikan ini hendaknya jangan bersamaan, hampir seluruh maskapai menaikkan tarif.
Tulus menilai dalam hal ini, pemerintah perlu mengambil langkah intervensi terhadap maskapai.
"Pemerintah melihat kebijakan ini komprehensif agar semua bisa terselamatkan. Kita tidak ingin maskapai collapsed dan akhirnya langit-langit di Indonesia diisi maskapai asing," katanya.
Dia menambahkan kenaikan tarif ini seharusnya diimbangi dengan tingkat ketepatan waktu penerbangan (OTP) yang tinggi.
Pengamat kebijakan Publik Agus Pambagyo mengimbau masyarakat harus jeli melihat perbedaan tarif tiket pesawat, yakni rute Aceh-Jakarta melalui Kuala Lumpur lebih murah karena penerbangan asing tidak dikenakan PPN juga waktu tunggu di Kuala Lumpur delapan hingga 10 jam.
Contoh lain, lanjut dia, penerbangan Jakarta-Malaysia lebih murah dengan maskapai asal Belanda KLM karena hub-nya atau destinasi asal untuk menngangkut penumpang bukan di Jakarta, melainkan di Kuala Lumpur.
"Jadi membandingkannya tidak bisa apple to apple, KLM berpikir daripada kosong dijual saja tiket murah ke Malaysia karena tujuan utamanya bukan penumpang dari Jakarta, tetapi dari Kuala Lumpur ke Amsterdam," katanya.
Dalam hal ini, Ia meminta pemerintah untuk mewujudkan hub internasional baik untuk bandar udara maupun pelabuhan karena yang masuk ke domestik tetap penerbangan asing apabila hubnya masih di negara tetangga, sehingga maskapai nasional tidak mendapatkan pasar.
Selain itu, lanjut Agus, memang perlu adanya edukasi kepada masyarakat terkait jenis penerbangan dan tarif batas.
"No frills atau LCC itu sekarang bagasi, ya, memang harus bayar. Kalau dilihat dari aturannya, maskapai saat ini belum ada yang melanggar peraturan, seharusnya Menhub tidak perlu minta Inaca turunkan, biar saja," katanya.
Agus menambahkan saat ini infrastruktur penerbangan tengah digenjot untuk dibangun dan dikembangkan, baik oleh AP I maupun AP II, maka sudah saatnya dibutuhkan ekulibrium baru.*
Baca juga: YLKI sebut bagasi berbayar adalah kenaikan tarif pesawat terselubung
Baca juga: Kenaikan tarif angkutan udara sumbang inflasi Desember
Baca juga: Turunkan harga tiket pesawat, keselamatan tetap nomor satu
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019