Pegiat Kehati yang membawahi bidang edukasi dan outreach Ahmad Baihaqi menyebut dari 18 jenis burung air yang diidentifikasi pada 2016, penurunannya tidak signifikan.
“Habitat di sini sebelum tahun ini lebih banyak sampahnya, tapi semakin tahun memang berkurang,” kata Ahmad.
Pria yang akrab disapa Abay ini menyebut sebagai muara yang seringkali menjadi tempat menampung sampah yang dibuang sembarangan dari 13 sungai di sekitarnya, kondisi di kawasan hutan lindung ini memang memprihatinkan.
Padahal dengan banyaknya sampah itu akan membuat biota laut tercemar dan mengurangi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.
“Banyaknya sampah ini memengaruhi keberadaan burung air. Tidak jarang sampah ini dimakan burung air atau karena mereka makannya ikan, kualitas ikannya jelek karena airnya tercemar. Tapi memang di sini ada pemulihan habitat,” kata Abay.
Banyak faktor yang membuat perbaikan habitat ini terjadi, yang paling utama tentunya peran kebijakan pemerintah.
“Pemprov DKI biasa mengambil sampah dari sini, kalau tak diangkat bayangkan akan seperti apa air yang tercemar, biota laut yang jadi sumber makan ikan mati, memengaruhi keberadaan burung air. Kebijakan pemerintah berperan penting di sini,” ucap dia.
Meski demikian, Abay menilai perlunya perhatian lebih dari pemerintah dalam mengelola hutan lindung, karena jika ditata dengan baik keberadaan hutan lindung ini bisa menjadi nilai lebih.
“Kan bisa jadi ekowisata atau tempat riset. Mahasiswa, peneliti datang ke sini . Banyak manfaat hutan mangrove di Jakarta,” ucap dia.
Baca juga: Sensus burung di Angke Kapuk identifikasi 14 jenis burung
Baca juga: Ratusan burung dilindungi hasil sitaan terancam mati
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019