Penentuan siklus lokasi ini penting, mengingat keberadaan gajah di KHDTK Aek Nauli berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan pada kawasan hutan. Lantai hutan menjadi lebih terbuka, karena berkurang atau hilangnya vegetasi untuk tingkat semai, dan t
Jakarta (ANTARA News) - Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli, Pematangsiantar, Sumatera Utara, menerapkan daur dan siklus lokasi angon gajah untuk menjaga keberlangsungan lingkungan konservasi eksitu.
Kepala BP2LHK Aek Nauli Pratiara dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan sebagai bagian daerah tangkapan air (DTA), Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli memiliki beragam jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi yang harus dijaga kelestariannya.
“Salah satunya dengan menentukan daur dan siklus lokasi angon gajah di sini,” kata Pratiara.
Penentuan siklus lokasi ini penting, mengingat keberadaan gajah di KHDTK Aek Nauli berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan pada kawasan hutan. Lantai hutan menjadi lebih terbuka, karena berkurang atau hilangnya vegetasi untuk tingkat semai, dan tumbuhan bawah.
Tumbuhan pioner juga bermunculan, sehingga berpeluang menyebabkan perubahan komposisi jenis.
“Selama ini gajah dibiarkan diangon di hutan secara bebas, karena memang belum ada area khusus untuk ngangon, jadi pemulihan kawasan hutan harus segera dilakukan,” ujar Pratiara.
Tujuan pemulihan kawasan hutan tersebut adalah untuk mengembalikan komposisi, dan struktur vegetasi mendekati kondisi semula sebelum terjadinya gangguan. Dengan demikian, ekosistem hutan KHDTK Aek Nauli dapat kembali menjalankan peran dan fungsinya sebagai kawasan hutan lindung.
Agar pemulihan ini dapat berjalan baik dan berhasil, diperlukan informasi komposisi dan struktur vegetasi di kawasan hutan, baik pada ekosistem hutan yang masih baik maupun yang telah mengalami gangguan. Tersedianya kondisi acuan merupakan komponen penting dalam kegiatan pemulihan kawasan hutan.
Berdasarkan kajian awal yang dilakukan peneliti BP2LHK Aek Nauli Sriyanti Puspita Barus diketahui bahwa pada ekosistem yang terganggu telah terjadi penurunan kerapatan vegetasi tingkat semai dan pancang.
Penurunan vegetasi tingkat semai terjadi sebesar 37 persen yaitu dari 82.500 individu per hektare (ha) menjadi 51.667 individu per ha, dalam setahun pertama keberadaan gajah di sana. Bahkan pada tingkat pancang, penurunan kerapatan lebih besar yakni 57 persen.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu segera dilakukan pengayaan jenis dengan penanaman jenis-jenis yang hilang. Salah satu prasyarat keberlangsungan regenerasi alami suatu ekosistem adalah ketersediaan tingkat permudaan yang mencukupi, ujar dia.
Namun, lanjutnya, proses regenerasi alami tersebut mungkin sangat lambat tercapai di KHDTK Aek Nauli karena sebagian besar adalah tegakan pohon pinus.
“Perlu upaya untuk mempercepat proses regenerasi tersebut, karena regenerasi alami pada ekosistem hutan pinus berjalan sangat lambat, hal tersebut karena zat allelopati yang dihasilkan oleh serasah pinus membuat pertumbuhan terhambat, sehingga ketersediaan pohon lain sebagai sumber benihpun menjadi sangat jarang,” ujar Sriyanti.
Gajah Sumatera merupakan salah satu satwa liar yang telah banyak mengalami penjinakan. Gajah jinak (captive) hasil penjinakan tersebut, kemudian mendapat pengasuhan dari mahout, yaitu orang yang bertugas untuk merawat dan melatih gajah.
Pemanfaatan gajah jinak di Indonesia, sejauh ini telah dilakukan untuk beberapa hal, diantaranya untuk pendidikan, dan mitigasi konflik gajah dengan manusia. Selain itu, dapat bermanfaat untuk penelitian ekologi, kegiatan konservasi, dan ekowisata, seperti yang dilakukan di KHDTK Aek Nauli.
Baca juga: Belasan gajah masih berkeliaran di permukiman warga Nagan Raya
Baca juga: Bengkulu segera jalankan program koridor gajah sumatera
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019