Jakarta (ANTARA News) - Indonesia membeberkan kajian dan bukti saintifik yang akan menggugurkan predikat Indonesia sebagai penyumbang emisi (emiter) karbon ketiga terbesar di dunia, setelah AS dan China. "Angka emisi Indonesia yang mencapai 3.000-9.400 Mton yang mencapai nilai emisi antara 13-40 persen emisi dunia, ditambah emisi karbon dari kawasan gambut 600 Mton yang dikeluarkan oleh Wetland International (WI) memiliki tingkat ketidakpercayaan yang tinggi," kata pakar atmosfer dari BPPT, Edvin Aldrian, kepada wartawan di Jakarta, Jumat. Angka ini sangat meragukan, lanjut dia, karena hanya estimasi dari kebakaran hutan pada 1997 yang selalu dirujuk untuk kebakaran hutan tahun-tahun sesudahnya, padahal variasi titik api bulanan sangat dipengaruhi oleh variasi iklim. Nilai yang dipublikasikan WI bila dibandingkan dengan fluktuasi nilai emisi tahunan dari seluruh lahan terbakar menunjukkan angka yang terlalu tinggi, terutama pada tahun-tahun non El Nino, yakni 1998, 1999, 2000, 2001, 2003, 2005, dan 2007. "Tujuh dari 11 tahun yang dijadikan hitungan memiliki titik api kebakaran hutan Indonesia rendah, sehingga tak bisa kebakaran hutan yang besar pada 1997 digeneralisasi untuk menghitung seluruh tahun yang dihitung itu," katanya. Hasil korelasi jumlah titik api paruh kedua tahunan di pulau Sumatera dan Kalimantan berkorelasi erat (90 persen) dengan indeks iklim di samudera Pasifik (indeks fenomena El Nino) yang menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya justru merupakan korban perubahan iklim, urainya. Estimasi tersebut, ujarnya, juga hanya memasukkan faktor kebakaran hutan tanpa memasukkan nilai daya serap hutan di saat tidak terjadi kebakaran seperti halnya negara-negara maju. Data global fire dari pusat antariksa Eropa (ESA) dan peta penyebaran asapnya juga menunjukkan kebakaran hebat di Indonesia baik tahun 1997 dan 2006, ternyata tidak separah kebakaran di Brazil dan di benua Afrika, tambahnya. Sementara itu Kepala Litbang Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Prof Dr Mezak Ratag mengatakan, konsentrasi CO2 yang teramati di atas Indonesia ternyata lebih rendah sebesar 3 ppm (part per million) atau 379 ppm dibanding konsentrasi rata-rata total karbon di atmosfer dunia yang besarnya 382 ppm. "Kalau lebih rendah dari rata-rata, bagaimana bisa menjadi pengemisi ketiga terbesar," katanya dan menambahkan bahwa jika data WI tidak dimasukkan maka Indonesia hanya ada pada posisi negara pengemisi ke-21. Observasi konsentrasi CO2 di stasiun Koto Tabang yang merupakan standar resmi World Meteorological Organization, menurut dia, selalu menunjukkan kadar konsentrasi CO2 lebih rendah dari stasiun referensi dunia di Mauna Loa Hawaii. Dampaknya besar Sementara itu, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Jana T Anggadiredja mengatakan, dengan julukan Indonesia sebagai pengemisi ketiga dunia dampaknya buruk bagi Indonesia dan bisa membuat Indonesia masuk dalam negara-negara annex 1 atau kelompok yang paling bertanggung jawab terhadap peningkatan gas rumah kaca (GRK). "UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) telah memberi sinyal bahwa para emitter ini akan diperhitungkan dalam perdagangan karbon melalui mekanisme pembangunan bersih (CDM)," katanya. Hal ini sangat disayangkan karena potensi Indonesia sangat besar dalam menjual karbon, termasuk untuk mendapatkan dana-dana lainnya terkait hutan tropis Indonesia, ujarnya. Edvin menambahkan pihaknya telah membawa protes dan kajian tersebut ke berbagai pihak seperti LSM, World Bank termasuk kepada Wetland yang menanggapinya dengan keras. Kajian tersebut juga akan dibawa ke UNFCCC di Bali pada Desember 2007. (*)

Copyright © ANTARA 2007