Jakarta (ANTARA News) - Para penggagas lahirnya "pemerintahan bayangan" yang merupakan anggota Kaukus Parlemen Muda menyatakan di Jakarta, Kamis, ide mereka murni sebagai sebuah alternatif untuk memberikan solusi permasalahan bangsa, penguatan demokrasi serta pembangunan nasional. Demikian pendapat dua di antara para anggota kaukus, masing-masing Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar dan rekannya Ali Mocthar Ngabalin. Yuddy Chrisnandi kepada ANTARA tidak banyak memberi komentar atas terpilihnya dia sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet bayangan ini. "Hanya satu kata: "Mantap"!!!," tegas Yuddy Chrisnandi. Berbeda dengan Yuddy Chrisnandi, penjelasan panjang lebar justru dikemukakan rekannya sesama anggota Komisi I DPR, Ali Mocthar Ngabalin. Anggota fraksi gabungan Bintang (Partai Bulan Bintang), Pelopor (Partai Pelopor) dan Demokrasi (PPDK) ini yang duduk sebagai Menteri Sekretaris Negara dalam pemerintahan bayangan itu berpendapat, ide mereka juga didorong oleh keresahan rakyat terhadap kinerja pemerintah sekarang. "Jadi lebih pada kesepahaman bersama, bahwa pemerintah bayangan ini dibuat oleh orang-orang muda (di Parlemen), karena memang ada keresahan (publik) terhadap kinerja pemerintah. Konkretnya, 'leadership' yang diperankan oleh presiden kita megecewakan masyarakat," ungkap Ali Mocthar Ngabalin. Karena itu, lanjutnya, muncul banyak pertanyaan di tengah masyarakat, lewat mekanisme apa masyarakat bisa menyampaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. "Itulah salah satu alasan utama lahirnya pemerintahan bayangan ini. Tentu kami berharap dari pemerintahan bayangan ini bisa menjadi alternatif agar masyarakat bisa menyampaikan permasalahannya kepada kita," ujar Ali Mocthar Ngabalin optimis. Karena itu pula, pihaknya menyebutkan dengan terbentuknya pemerintahan ini, Kaukus Parlemen Muda berharap bisa memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan bangsa. "Itu yang pertama. Lalu, kedua, juga kami berharap agar bisa mendapat dukungan dari masyarakat dalam rangka penguatan demokrasi dan pembangunan nasional," katanya, yang juga diiyakan Yuddy Chrisnandi. Mandegnya saluran Ali Mocthar Ngabalin terang-terangan menyatakan saat ini masyarakat menghadapi adanya saluran atau ada mekanisme formal yang mengalami hambatan. "Ketika masalah-masalah masyarakat itu dibawa ke parlemen dan pemerintah, sepertinya terhenti sampai di sana, tidak ada solusi atau tindak lanjut," ungkapnya. Dalam kaitan itulah, Koalisi Parlemen Muda juga membicarakan kerja-kerja DPR yang mungkin tidak bisa berjalan dengan baik. "Umpama begini, pemerintah itu datang ke parlemen, kemudian bikin rapat kerja. Dari situ kita bikin rekomendasi. Ternyata, rekomendasi itu langsung disimpan ke tong sampah. Sampai pada masa persidangan mendatang, bikin rapat lagi. Mana hasil kesimpulan kemarin, apa yang diperbuat dan ditindaklanjuti. `Nothing`," katanya kecewa. Bagi mereka, rapat-rapat di DPR akhirnya hanyalah rutinitas formal yang berjalan apa adanya. "Khan sangat sulit ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari utuhnya pemerintah menyikapi persoalan-persoalan masyarakat, baik itu yang diterimanya langsung, atau berasal dari kesimpulan-kesimpulan rapat kerja dengan parlemen," ungkapnya. Hal ini, menurut Ali Mocthar Ngabalin, menunjukkan adanya saluran demokrasi yang dalam pembangunan politik kita sedang tersumbat. "Buktinya tindak lanjut dari sejumlah usul interpleasi anggota parlemen. Apakah itu kasus nuklir Iran, lumpur Lapindao, kemudian apa lagi masaah-masalah penegakan hukum, penyelesaian dugaan korupsi, semuanya diselesaikan hanya dengan mekanisme "cipika dan cipiki". Melalui koridor forum aneh, dan hasilnya tidak dinikmati rakyat. Ini sudah semakin menimbulkan keresahan-keresahan masyarakat," ujarnya. Makanya, demikian Ali Mocthar Ngabalin, kelahiran pemerintahan bayangan merupakan sebuah langkah awal untuk mencari alternatif bagi adanya solusi menjawab berbagai keresahan masyarakat tentang beragam permasalahan bangsa, termasuk dalam rangka penguatan demokrasi serta pembangunan nasional. "Jadi, 'shadow government' ini wacana baru dalam pendidikan politik di tanah air. Banyak ahli menilai, tidak ada rujukan teorinya. Tapi kami katakan, ini kami tidak berteori di sini. Masakan urusan lumpur Lapindo mau ditanyakan ke Inggris, atau mau merujuk ke teori Rusia," tegas Ali Mocthar Ngabalin. (*)
Copyright © ANTARA 2007